Depok—Islam tengah meneguhkan kembali perannya sebagai sumber inspirasi moral dan intelektual di tengah tantangan global. Dari gerakan perempuan peduli lingkungan di Aceh hingga gagasan etika teknologi modern, pemikiran Islam kini menampilkan wajahnya yang progresif, ekologis, dan humanistik. Para pemikir, ulama, dan akademisi Muslim sepakat: masa depan peradaban dunia membutuhkan spiritualitas, keadilan sosial, dan keseimbangan ekologis sebagai fondasi utama.
Gerakan eco-feminisme Islam di Aceh menjadi salah satu contoh paling nyata bagaimana nilai keislaman, kearifan lokal, dan kesadaran ekologis berpadu dalam satu suara. Di tengah krisis iklim global, perempuan Aceh tampil sebagai penggerak sosial yang mengaitkan iman dengan tanggung jawab ekologis.
Akademisi Eka Srimulyani menilai gerakan ini sebagai ekspresi nyata dari agensi perempuan Muslim dalam melindungi alam dan memperjuangkan keadilan ekologis.

“Perempuan Aceh memiliki peran spiritual dan sosial yang penting dalam menjaga kelestarian lingkungan. Gerakan ini lahir dari keyakinan bahwa iman dapat berjalan beriringan dengan kepedulian terhadap alam,” ujarnya (29/10/2025).
Dari desa hingga pesantren, perempuan Aceh terlibat dalam pengelolaan hutan, pelestarian tanaman obat, dan pengelolaan limbah rumah tangga. Mereka bergerak dengan dasar keyakinan bahwa “bumi adalah amanah” dan menjaga alam berarti menunaikan perintah Tuhan.
Namun, Eka mengingatkan adanya ketegangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian alam.
“Pembangunan harus berjalan tanpa mengorbankan keseimbangan ekologi. Kita perlu memberi ruang bagi perempuan untuk ikut menentukan arah kebijakan sumber daya alam.”
Gerakan ini memperlihatkan wajah Islam yang inklusif dan kontekstual—di mana spiritualitas bukan hanya urusan ibadah, tetapi juga perlawanan terhadap ketidakadilan ekologis.
Dalam forum bertajuk “Sharia, Technology, and Modern Ethical Challenges”, pemikir Islam Aria Nakissa menyerukan agar umat Islam tidak sekadar menjadi konsumen teknologi, tetapi juga pengarahnya.
“Islam tidak menolak kemajuan. Yang diajarkan adalah bagaimana menggunakan teknologi dengan tanggung jawab,” tegasnya.

Menurut Nakissa, kemajuan seperti kecerdasan buatan (AI), rekayasa genetika, dan robotika memerlukan landasan etika baru berbasis maqāṣid al-syarī‘ah — tujuan syariah yang menekankan perlindungan kehidupan, akal, dan lingkungan. Ia juga mengusulkan reinterpretasi konsep bid‘ah, agar inovasi yang membawa kemaslahatan tidak dianggap penyimpangan.
“Masalahnya bukan pada kemampuan Islam untuk berubah, tetapi pada bagaimana umat Islam menafsirkan perubahan itu.”
Pandangan Nakissa menegaskan pentingnya kesadaran spiritual dalam pengelolaan kekuasaan teknologi. Inovasi, katanya, harus diarahkan untuk memperkuat nilai kemanusiaan dan keseimbangan alam — bukan untuk mengeksploitasi ciptaan Tuhan.
Pemikir Islam Muhammad Ahmad Ibrahim mengingatkan bahwa Islam telah lama memiliki dasar teologis bagi gerakan lingkungan modern. Prinsip Mīzān (keseimbangan kosmik) dalam Al-Qur’an menegaskan bahwa pelestarian alam bukan pilihan moral, tetapi kewajiban keagamaan.
“Kerusakan lingkungan adalah bentuk kezaliman. Setiap botol plastik di laut dan setiap ton karbon di udara adalah pengkhianatan terhadap amanah Allah,” ujarnya.
Ahmad menyoroti keberhasilan Masdar City di Uni Emirat Arab sebagai contoh konkret integrasi nilai Islam dalam tata kelola lingkungan modern. Kota itu berhasil menekan konsumsi energi dan emisi karbon hingga separuhnya, sambil memelihara prinsip keadilan ekologis.
Ia juga mengajukan lima langkah strategis menuju “peradaban hijau Islam”:
- Integrasi studi lingkungan dalam kurikulum pesantren dan universitas.
- Fatwa dan panduan perilaku ramah lingkungan.
- Pembentukan dewan lingkungan Islam.
- Pengembangan green sukuk dan zakat hijau.
- Gerakan individu sebagai “khalifah lingkungan.”
“Islam telah memberi panduan lengkap. Pertanyaannya kini: apakah kita berani menjalankannya?”
Dalam forum lain, akademisi Ayman Shihadeh menegaskan bahwa gagasan toleransi bukanlah adopsi dari modernitas Barat, melainkan warisan Islam klasik. Ia menyoroti karya Fakhr al-Din al-Razi yang menekankan pentingnya menerima perbedaan intelektual dan teologis.
“Pemikiran al-Razi menunjukkan bahwa toleransi dalam Islam bukan kompromi sosial, tetapi bagian dari etika keilmuan.”
Kajian ini menegaskan bahwa moderasi dan dialog lintas iman sudah tertanam dalam tradisi Islam sejak berabad-abad lalu. Tantangannya kini adalah menghidupkan kembali warisan tersebut agar menjadi pondasi perdamaian modern.
Sementara itu, akademisi Stephen menyoroti perubahan besar dalam lanskap keislaman akibat ledakan teknologi informasi. Internet dan media sosial telah menggeser pusat otoritas keagamaan, memberi ruang bagi aktor baru dalam penyebaran ide keislaman.
“Narasi Islam kini ditentukan bukan hanya oleh mereka yang menguasai kitab, tetapi juga oleh mereka yang menguasai jaringan digital,” ujarnya.
Fenomena ini menuntut penguatan literasi keagamaan dan etika digital agar umat tidak terjebak pada informasi dangkal. Stephen juga menyerukan kolaborasi antara kajian Islam klasik dan antropologi modern untuk menghadirkan pemahaman Islam yang lebih kontekstual dan global.
Rangkaian gagasan dari para pemikir di atas memperlihatkan arah baru kebangkitan intelektual Islam — dari Aceh hingga dunia internasional. Islam tampil bukan sekadar sebagai sistem keyakinan, tetapi sebagai paradigma peradaban yang menuntun manusia menghadapi krisis kemanusiaan, ekologi, dan etika teknologi.(*)
