IAIN Tulungagung Kukuhkan Guru Besar ke-11, Dihadiri Direktur PTKI Kemenag RI

Kontributor:

Tulungagung – Kamis (05/11/2020) kembali Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung mengukuhkan guru besarnya, yakni Syamsun Niam sebagai guru besar Metodologi Studi Islam. Pengukuhan tersebut digelar di Aula Lantai 6 Gedung KH Arief Mustaqiem IAIN Tulungagung. Dia adalah merupakan guru besar kesebelas di IAIN Tulungagung.

Hadir dalam acara pengukuhan tersebut Forpimda atau yang mewakili, beberapa pejabat publik serta beberapa tamu undangan yang dibatasi dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Hadir juga dalam acara tersebut Direktur Pendidikan Tinggi Keagaman Islam (Diktis) Kemenag RI, Suyitno.


Dalam pidato pengukuhannya, Syamsun Niam menyampaikan pidato dengan tema Re-orientasi Kajian Islam dalam Mengurai Benang Kusut Kebhinekaan di Indonesia.


Dalam pidatonya tersebut Niam menyampaikan bahwa belajar dari pesantren dan perguruan tinggi keagamaan Islam. Ini merupakan bagian dari tanggung jawabnya untuk urun rembug dalam mengembangkan kajian Islam di pesantren dan PTKI yang inkontek dengan jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya yakni masyarakat yang beragam dan multikultur.

Masih menurut Niam, hal tersebut berangkat dan kegelisahan akademis terkait fenomena di mana belakangan ini muncul problem pemahaman keberagaman yang dalam konteksnya disebut dengan kebhinekaan, kebangsaan, problem kemanusiaan dan juga problem keberagamaan. Hal tersebut tak jarang muncul atau dimunculkan saat adanya hajat politik baik di tingkat pusat maupun daerah baik dalam pemilihan kepala daerah maupun presiden dan wakil presiden.

Dari hasil penelitiannya, menurut Niam, berdasarkan data beberapa lembaga survey ada beberapa hal yang mejadi persoalan yang berkaitan dengan pemahaman keberagaman, yakni pertama penyesatan terhadap kelompok atau individu baik yang dilakukan oleh masyarakat, negara maupun gabungan keduanya, kedua kekerasan berbasis agama, ketiga regulasi bernuansa agama, keempat konflik tempat ibadah, kelima kebebasan berfikir dan berekspresi, hubungan antar umat beragama di Indonesia, fatwa-fatwa keagamaan serta menyangkut moralitas dan pornografi yang menyangkutan moralitas beragama.

“Semua itu, menurut hasil penelitian itu tidak dapat dilepaskan dari pemahaman keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dalam sejarah panjang kebangsaannya telah mengalami pasang surut dalam membangun harmoni dalam keberagaman kebhinekaan. Oleh karena itu satu solusi yang kiranya patut mendapatkan perhatian serius adalah merawat dengan baik modal besar kebhinekaan yang menjadi ciri dan karakter bangsa Indonesia,” kata Niam.

Sebab secara lebih khusus, lanjut Niam, Islam di Indonesia tumbuh berkembang tidak lepas dari proses panjang kontekstualisasi, akomodasi, kulturisasi dan akulturasi zaman budaya dan tempat. Dengan demikian Islam di Indonesia tidak bisa disamakan dengan Islam di dunia Arab. Islam di manapun datang dan berhenti di situlah berbagai aspek dan konteks selalu mengiringinya. Oleh karena itu bagi semua pihak baik pondok pesantren atau PTKI memiliki tanggung jawab yang sama dalam berjihad mempertahankan nilai-nilai keberagamaan dan kebhinekaan serta mengembangkan di masa-masa mendatang.

Setelah pidato pengukuhan, acara dilanjutkan dengan prosesi pengukuhan oleh Rektor IAIN Tulungagung, Maftukhin dengan pembacaan kata-kata pengukuhan serta pengalungan samir kepada guru besar yang dikukuhkan.

Seusai prosesi, Rektor dalam sambutannya menyampaikan bahwa sebenarnya konflik antar agama di Indonesia sudah belangsung sejak masa kerajaan, akan tetapi selau bisa menyelesaikannya. Dalam hal ini rektor mencontohkan dengan kejadian di masa Kerajaan Mataram Kuno yang rajanya adalah Raja Syailendra yang beragama Budha berperang dengan orang-orang Hindu. Namun dalam suatu masa di mana sang raja membutuhkan tenaga orang Hindu untuk membangun candi maka konflik tersebut berangsur selesai. Dan di saat konflik tersebut selesai itulah kerajaan di nusantara bisa membangun peradaban.

Dari cerita tersebut Rektor hendak mengungkapkan bahwa ketika terjadi konflik antar agama, tidak ada kemajuan apa-apa bagi bangsa ini, namun ketika konflik agama tersebut terselesaikan maka bisa bersama-sama sebuah bangsa membangun peradaban yang lebih baik dan maju.

Sementara itu, sebelum mengakhiri sambutannya, Rektor tak lupa mengucapkan selamat kepada Syamsun Niam atas raihan sebagai guru besar.

Setelah sambutan dari Rektor, acara dilanjutkan dengan orasi ilmiah oleh Direktur Diktis Kemenag RI, Suyitno. Dalam orasinya Suyitno menyampaikan beberapa hal yang di antaranya adalah terkait isu intoleransi beragama. Menurutnya intoleransi beragama kini menjadi persoalan di beberapa perguruan tinggi. Oleh karena itu harus ada proses moderasi beragama di mana ini sebenarnya menjadi juga menjadi salah satu visi Kementerian Agama. Untuk itu di PTKI harus ada semacam rumah moderasi.

Dalam rumah moderasi tersebut menurut Suyitno, harus ada kamar-kamar yang jelas. Oleh karena itu pihaknya mengaku sudah merumuskan tiga isu yang harus menjadi bagian dari rumah moderasi tersebut. Pertama adalah isu Riset, yakni rumah moderasi itu harus center of Islamic studies of tolerance. Artinya kajian keislaman di situ adalah kajian yang kontekstualisasinya adalah persoalan-persoalan toleransi atau kajian moderasi beragama.

Sementara itu yang kedua dari isu rumah moderasi adalah advokasi, yakni memberikan pendampingan terhadap gejala intoleransi yang bisa menjadi tempat curhatnya masyarakat jika terjadi toleransi. Ini merupakan upaya meminimalisasi radikalisme.

Adapun isu yang ketiga terkait rumah moderasi adalah harus bisa menjadi tempat pendidikan dan pelatihan (diklat) yakni diklat tentang moderasi. Artinya rumah moderasi ini nanti diharapkan bisa menjadi tempat diklat terkait moderasi beragama bagi calon pegawainya. Hal ini untuk memastikan moderasinya.

“Dua tahun yang lalu saat menjadi Direktur Madrasah saya sudah membuat program traking calon guru itu dengan moderasi beragama. Kalau tidak clear kita tidak SK-kan fungsionalnya.” kata Suyitno. (sin)

Skip to content