Hadirkan Gus Muwafiq, UIN SATU Tulungagung Gelar Ngaji Kebangsaan

Kontributor:

Tulungagung – Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah (UIN SATU) Tulungagung menggelar Ngaji Kebangsaan dengan menghadirkan KH Ahmad Muwafiq dari Yogyakarta pada Senin pagi (15/11/2021). Digelar di Lapangan Utama UIN SATU Tulungagung, acara tersebut dihadiri beberapa pejabat di lingkungan UIN SATU Tulungagung, beberapa undangan dan tokoh agama dan masyarakat di Kabupaten Tulungagung.
Menurut Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN SATU Tulungagung, Mahda Fuad Amirudin menyampaikan dalam sambutannya bahwa kegiatan Ngaji Kebangsaan tersebut merupakan rangkaian dari kegiatan-kegiatan Pekan Seni dan Kreatifitas Mahasiswa (PSKM) Tahun 2021 yang rutin digelar setiap tahun di mana pada tahun lalu terpaksa tidak digelar akibat adanya pandemi Covid-19. Adapun tema yang diambil adalah Menuju Indonesia Penuh Toleransi.

Masih menurut Mahda, acara ini juga dalam rangka memperingati Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 November yang mana telah disahkan melalui sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 16 November 1996. Harapannya nilai-nilai toleransi di Indonesia yang sudah ada sejak lama tidak terkikis oleh sikap-sikap intoleran misalnya dengan munculnya ujaran-ujaran kebencian yang marak saat ini.
Rektor UIN SATU Tulungagung, Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. yang juga memberikan sambutan pada acara tersebut menyampaikan bahwa UIN SATU Tulungagung meskipun ada di desa, namun sudah mengalami banyak perkembangan, di antaranya sebelumnya yang berbentuk Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) sudah berupah menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan kini sudah menjadi UIN.
Maftukhin juga mengatakan bahwa meskipun desa, Tulungagung ini sebenarnya adalah tempat yang luar biasa, karena di masa lalu sejak zaman Majapahit, wilayah ini menjadi tempat ditempanya para tokoh besar Majapahit seperti Empu Prapanca yang melahirkan kitab Negara Kertagama, Empu Tantular yang melahirkan kitab Sutasoma dan kitab Arjuna Wijaya dan Empu Mada yang dikenal dengan Empu Gajah Mada yang melahirkan Kitab Kutaramanawa.
“Guru mereka adalah Rajapatni Gayatri yang sekarang patungnya ada di Boyolangu yang didarmakan menjadi Rajna Paramita Puri atau dalam bahasa kuno bisa berarti Dewi Ilmu Pengetahuan,” kata Maftukhin.
Oleh karenanya, Maftukhin berharap supaya alumni UIN SATU Tulungagung meskipun ada di desa harus bisa berfikir dalam cakupan nusantara yang cerdas dan memberikan kontribusi dalam kemajuan bangsa di nusantara ini.
Selain itu, Maftukhin juga menyampaikan bahwa UIN Tulungagung ini memilih nama Sayyid Ali Rahmatullah yang merupakan nama ulama Sunan Ampel karena terilhami dari bagaimana perjuangan dan dakwahnya, sesuai dengan jargon UIN SATU Tulungagung sebagai Kampus Dakwah dan Peradaban.
“Artinya mahasiswa kita meskipun prodi apapun, mau ahli biologi, fisika, kimia tetap keulamaan menjadi salah satu pilar utama dalam pengembangan mahasiswa kita,” kata Rektor.
Sebagai penceramah dalam acara Ngaji Kebangsaan, KH Ahmad Muwafiq atau yang banyak dikenal dengan Gus Muwafiq menyampaikan, bahwa Hari Toleransi digagas oleh masyarakat internasional dan kita diminta untuk mengamini dan mengikuti termasuk merayakan hari itu. Itu menjadi dimana titik toleransi. Cuman basic-nya beda.
Kalau di Eropa, toleransi itu basic-nya humanisme. Dan basic humanisme itu "menuduh" agama itu intoleran. Nah pertanyaannya adalah lantas kita ini bisa menjadi masyarakat yang toleran. Ini apakah basic-nya humanisme atau sesungguhnya kita punya basic sendiri yakni agama. Karena yang selalu kita sampaikan adalah tentang “Wa Ja`alnākum Shu`ūbāan Wa Qabā'ila Lita`ārafū”, dan itu Kalamullah.
“Jadi setiap mereka bicara tentang toleransi, tentang kerukunan, tentang kebebasan. Jawabannya tidak berangkat dari yang mereka bayangkan,” kata Gus Muwafiq.
Maka ketika zaman mudanya Pak Rektor, di mana orang-orang sedang menggagas tentang Teologi Pembebasan, yang ditulis oleh seorang pastur di Amerika Latin bernama Gustavo Gutieres tentang bagaimana titik kompromi antara agama dan pengangkatan harkat dan martabat manusia tiba-tiba kita punya jawaban.
“Kalau soal mengangkat fakir miskin dan anak terlantar, teks kita juga ada. “fawailul lil musholliin, alladziina hum ‘an sholaatihim saahuun, alladziina hum yuroo-uun, wayamna’uunal ma’uun”. Termasuk “Laisal birra an tuwalluu wujuuhakum qibalal masyriqi wal maghrib” dan seterusnya itu. Kita ini tiba-tiba selalu punya jawaban,” kata Gus Muwafiq.
Lebih lanjut Gus Muwafiq mengatakan bahwa sesungguhnya masyarakat beragama yang selalu dituduh basicly sebagai intoleran, eksklusif, itu tidak pernah ditemukan di dalam terutama dilihat dari perspektif empiris yang ada di Indonesia. Di mana mayoritas santri itu tidak punya basic eksklusif tidak pernah, basic intoleran tidak pernah.
“Makanya kemudian banyak sekali peneliti-peneliti Eropa itu meneliti ke sini. Dan yang diteliti adalah masyarakat tradisional Islam di Indonesia. Mulai dari Clifford Geertz, sempat menulis Santri, Kyai, dan Abangan. Karena apa, karena santri melawan, melawan kebijakan Belanda. Semua yang melawan itu santri,” kata Gus Muwafiq.
Itulah yang kemudian menimbulkan stigma yang diberikan oleh Eropa bahwa agama itu adalah intoleran. Ini inlander atau pemberontak. Namun ternyata mereka begitu sampai di sini (Indonesia) tidak menemukan itu. Tidak ditemukan sikap-sikap intoleran pada masyarakat beragama.
Oleh karenanya, Gus Muwafiq menegaskan bahwa sebenarnya basic toleransi bukan humanisme yang ada dalam teori barat, melainkan sudah menjadi ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW yang kini dipraktekkan oleh para santri. Dan ini perlu dipertahankan sebagai nilai yang dipegang oleh bangsa Indonesia dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Acara Ngaji Kebangsaan selengkapnya bisa disaksikan di Channel Youtube SATU Televisi. (humas)
Skip to content