UIN SATU Tulungagung Kukuhkan Guru Besar ke-18

Kontributor:

Tulungagung – Rabu (15/12/2021) kembali Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah (UIN SATU) Tulungagung mengukuhkan guru besarnya. Kali ini adalah guru besar yang ke-18 dan sekaligus guru besar pertama bidang ilmu Tafsir. Dia adalah Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Lc., M.Ag. yang kini juga tengah menjabat Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN SATU Tulungagung. Adapun pengukuhan dilaksanakan dengan Rapat Senat Terbuka yang digelar di Aula Lantai 6 Gedung KH Arief Mustaqiem dengan menerapkan protokol kesehatan.
Upacara pengukuhan diawali dengan pembukaan oleh Ketua Senat UIN SATU Tulungagung, Prof. Dr. H. Imam Fuadi, M.Ag. dan pembacaan SK guru besar oleh Sekretaris Senat UIN SATU Tulungagung, Prof. Dr. Syamsun Niam, M.Ag.. Dilanjutkan dengan pemutaran film biografi singkat Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Lc. M.Ag. yang berjudul “Menggapai Gunung, Capai Adiluhung”.

Setelah pemutaran film, acara dilanjutkan dengan pidato pengukuhan oleh guru besar yang dikukuhkan. Dalam hal ini, Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Lc., M.Ag. menyampaikan pidato pengukuhan yang berjudul “DIALEKTIKA AL-QUR’AN DAN SEJARAH: Kajian atas Historisitas Makkiyyah-Madaniyyah dan Asbab al-Nuzul”.
Dalam pidato pengukuhan yang diselingi dengan joke-joke segar tersebut Abad mengemukakan mengenai al qiraah al munsifah, yaitu pembacaan yang berkesadaran. Apa yang dimaksud pembacaan berkesadaran adalah kita harus menset benak kita, pemahaman kita, setiap membaca teks-teks Islam klasik tak terkecuali Al-Qur’an kita harus membacanya secara munsifah atau berkesadaran.
“Yang dimaksud kita di sini tentu saja adalah kita masyarakat akademik,” kata Abad.
Apa itu pembacaan yang berkesadaran, kesadaran pertama kesadaran kita sekarang ada di mana, dalam era apa, kemudian kesadaran kapan teks-teks suci itu dilahirkan, terkhusus Al-Qur’an itu kapan diwahyukan.
“Kesadaran kedisinian dan kesadaran kekinian itulah yang kemudian yang saya sebut sebagai al qiraah al jadidah, model pembacaan baru,” kata Abad.
Singkatnya abad menjelaskan bahwa Al-Qur’an lahir abad ke-7 Masehi, sementara kita di abad 21 Masehi. Berarti ada rentang waktu lebih dari satu milenium antara Al-Qu’an lahir hingga kita di sini. Ada gab yang teramat luas baik dari sisi waktu maupun dari sisi letak geografis. Dan dalam pembacaan ini Abad mengaku mengamini teori hermeneutikanya Fajrul Rahman, karena dari tokoh-tokoh hermeneutik yang ada, dialah yang menurutnya paling nyaman baginya.
Menurut Fajrul Rahman, sebut Abad, dalam pembacaan terhadap naskah-naskah klasik terutama dalam hal ini adalah Al-Qur’an kita perlu mengembangkan yagn disebutnya sebagai double movements atau duapergerakan. Movement pertama adalah kita kembali ke masa lalu, artinya kia harus membayangkan, mengimajikan bahwa kita hadir duduk di sekitar Nabi, lalu terjadi dialog antara Nabi dan para sahabat. Lalu ada masalah yang dekemukakan oleh sahabat lalu Nabi meminta waktu lalu turunlah wahyu.
Tapi kita tidak boleh terlelap di masa lalu, lanjut Abad, kita harus melakukan movement yang kedua, yaitu kembali dari masa lalu hadir ke sini yang kemudian disebut dengan pembacaan kekinian dan kedisinian. Kekinian menunjukkan pada sekat waktu yang menunjukkan gab seribu tahun lebih antara nabi dengan kita, kedisinian menunjukkan kesadaran gab secara geografis, seting sosial, ekonomi, politik, budaya sudah sangat bebeda.
Sehingga ketika kita sekarang menghadapi banyak sekali problematika keumatan baik yang menyangkut kehidupan keagamaan, ekonomi, politik, kebudayaan, kesenian dan seterusnya maka kita bisa berkaca kepada wahyu, seperti apa wahyu dulu empat belas abad yang lalu menangani persoalan seperti ini, sehingga yang ditangkap dari wahyu adalah pesan moralnya bukan ujaran tekstualnya. Lagi-lagi di sini Fajrul Rahman di sini tampil.
“Bahwa kata Fajrul Rahman, pada setiap ayat termuat dua makna. Satu legal formal atau ujaran lahiriah dan yang kedua adalah ideal moral atau yang jauh maknawi atau jauh lebih substansial,” kata Abad.
Maka dari itu menurut pendapat Abad, dalam pembacaan teks-teks suci itu bukan ujaran lahiriahnya yang seharusnya ditonjolkan, melainkan lebih pada ideal moralnya.
Setelah pidato pengukuhan, acara dilanjutkan prosesi pengukuhan yang ditandai dengan pemakaian shamir oleh Rektor UIN SATU Tulungagung, Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. kepada guru besar yang dikukuhkan, Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Lc., M.Ag. serta dilakukan penyerahan SK Guru Besar.
Seusai prosesi pengukuhan, dalam sambutannya, Rektor UIN SATU Tulungagung, Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. menyampaikan ucapan selamat kepada Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Lc., M.Ag. sekaligus memberikan apresiasi positifnya atas raihan gelar guru besar tersebut.
Selain itu, Rektor juga sedikit memberikan ulasan perihal peran Al-Qur’an dalam kehidupan manusia. Menurutnya, kitab suci umat Islam tersebut tak hanya sekedar menjadi pedoman hidup saja, melainkan jika dibaca dengan kapasitas tertentu ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an bisa menjadi mantera atau do’a dimana ia bisa menyembuhkan penyakit atau hal-hal baik lainnya.
Setelah sambutan dari rektor, acara diakhiri dengan pemberian ucapan selamat dari para undangan yang hadir kepada guru besar yang dikukuhkan, foto bersama dan ramah tamah. Upacara pengukuhan tersebut selengkapnya bisa disaksikan di Channel Youtube SATU Televisi UIN SATU Tulungagung.(humas)
Skip to content