Teologi Berkurban

Kontributor:

Ibadah kurban dalam sejarah umat Islam menjadi fenomena penting dalam khazanah keimanan dan kemusliman seorang penganut ajaran tauhid. Pengorbanan adalah esensi ajaran ini; beriman kepada ajaran tauhid berarti siap mengorbankan diri dan berserah diri hanya kepada Allah, Sang Maha Pencipta yang wajib disembah oleh hamba-Nya. Oleh karena itu, pengorbanan dalam bentuk apapun untuk ibadah kepada Allah menjadi hal yang niscaya.

Dalam kajian bahasa, kata kurban berasal dari akar kata “qariba, yaqrabu, qurban, qurbanan, wa qirbanan” yang berarti mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang berkurban mengorbankan yang dicintainya, yaitu harta atau hewan, semata-mata karena Allah SWT.

Dalam istilah syariat, kurban adalah hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik.

الأضحية هي ما يذبح من النعم تقربًا إلى الله تعالى من يوم العيد إلى آخر أيام التشريق

Hewan yang dikurbankan biasanya unta, sapi, atau kambing, yang dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “rojo koyo” atau sumber kekayaan. Karena menjadi sumber kekayaan, hewan-hewan ini sangat dicintai oleh manusia.

Dalam tradisi jawa dahulu simbol kekayaan seseorang biasanya memang bersumber dari harta kekayaan yang dapat memenuhi semua kebutuhan seseorang. Misalnya orang mau membangun rumah dia cukup menjual sapinya 15 ekor, mau membeli sawah cukup menjual sapinya 10, mau berangkat haji cukup menjual sapi 5 ekor, membiayai kuliah anaknya cukup 1 ekor sapi bisa untuk membayar daftar ulang anaknya, membeli perhiasan untuk istrinya cukup 1 ekor sapi, membeli mobil cukup 10 ekor sapi dan lain sebagainya.

Maka hewan piaraan(ternak) tempo dulu atau sampai sekarang dapat memenuhi kebutuhan, menjadi sumber kekayaan, yang akhirnya secara umum dicintai oleh manusia pada umumnya (mayl al-insan). Inilah kemudian orang jawa menyebutnya rojo koyo. Makna yang dikurbankan adalah harta yang dicintai oleh seorang hamba selaras dengan dawuh Allah Swt dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 92:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

“Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebaikanm sampai kamu menginfaqkan apa yang kamu cintai. Dan dari sesuatu yang kamu maka sesungguhnya Allah maha mengetahui”. 

Dalam ayat ini menjelaskan bahwa apa yang dibelanjakan dijalan Allah ada sesuatu yang dicintai, untuk tujuan yang terpuji yakni Allah Swt. Tanpa sesuatu yang dicintai dan tujuan karena Allah maka suatu pengorbanan, ibadah mendekatkan diri kepada Allah tidak akan berhasil atau tidak akan didapatkan.  

Dalam Riwayat yang lain menjelaskan bahwa amal ibadah anak Adam yang dicintai oleh Allah pada hari raya kurban adalah menyembelih hewan yang dicintai. Artinya juga orang akan mendapatkan kecintaan Allah kalau dia juga mampu mengorbankan cintanya untuk Allah Swt. Mungkin ini sebagaimana kisah Nabi Ibrahim Alaihi salam, yang Ikhlas mengorbankan putra yang dicintainya untuk Allah Swt. sehingga Nabi Ibrahim AS adalah Khalilullah.  

Kurban dilaksanakan pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik, yaitu tanggal 10 Dzulhijjah dan tiga hari sesudahnya, yaitu 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Pada hari-hari ini, umat Islam diperintahkan untuk berkurban, membagi dagingnya kepada sesama, memasak, dan menikmatinya. Pada hari-hari tersebut dilarang berpuasa, karena umat Muhammad SAW diberi kesempatan untuk menikmati daging kurban, makan, dan minum, sambil mengumandangkan takbir mengagungkan Allah SWT.

Ajaran pengorbanan ini adalah bentuk manifestasi kecintaan kepada Allah yang vertikal, sedangkan ajaran “hari makan dan minum” adalah hikmah tentang kehambaan. Seorang hamba yang mencintai Allah secara totalitas mengorbankan dirinya untuk Allah, yang tercermin dalam kebutuhan makan dan minum. Hamba Allah adalah makhluk yang selalu membutuhkan, serba kekurangan, serba kelaparan jika tidak makan, dan serba kehausan jika tidak minum.

Kesadaran diri seorang hamba bahwa dia selalu kurang, tidak sempurna, selalu membutuhkan yang lain secara horizontal, akan menghasilkan pribadi yang baik dan bersifat seperti hamba Allah yang sebenarnya. Dari hilangnya sikap egoisme, akan muncul sikap rahmah (kasih sayang) kepada sesama serta kesadaran bahwa Allah SWT adalah Maha Esa, Maha Besar, dan Maha Agung. Pada hari-hari tasyrik pun disunnahkan untuk selalu melantunkan takbir, mengagungkan Allah SWT.

Ajaran kurban bertujuan mendekatkan diri kepada Allah (taqarruban ila Allah). Persembahan yang dilakukan seorang hamba dalam wujud hewan yang dicintai semata-mata karena Allah. Hal ini menegasikan ajaran-ajaran kemusyrikan, yang banyak terjadi di masyarakat dahulu atau sekarang, dengan mengorbankan sesuatu karena selain Allah.

Misalnya, manusia mengorbankan sesuatu untuk sesama manusia, pohon yang dipertuhankan, penguasa wilayah, atau penguasa lautan. Padahal, yang Maha Pencipta, Maha Besar, Maha Agung, dan Maha Esa adalah Allah SWT. Maka, penafian segala bentuk kemusyrikan dalam kehidupan seorang penganut ajaran tauhid adalah keniscayaan. Bagi yang mampu, hari raya Idul Adha menjadi simbol kekuatan tauhid, kesempurnaan keimanan kepada Allah SWT, dengan niatan yang ikhlas, murni, dan totalitas.

Akhirnya, tema-tema dalam Idul Adha ini adalah seputar pengorbanan (qurban), kecintaan (mahabbah), kemurnian niat (ikhlas), dan mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub). Kesuksesan seorang mukmin dalam beragama dapat disimbolisasikan dalam ibadah kurbannya, dengan merealisasikan sifat berkorban atau berserah diri, selalu mencintai dan dicintai, ketulusan niat dalam amal perbuatannya, yang berarti ia berusaha mendekat dan dekat kepada Allah.

Sebaliknya, dengan adanya simbol kurban, ia dapat menafikan sifat-sifat tercela dalam dirinya, seperti egoisme (ananiyah), menebar kebencian (ghadhab-hasud), tidak ikhlas, yang berakhir pada kemusyrikan atau kemunafikan, yang dalam kehidupan sehari-hari menjauhkannya dari kemuliaan seorang hamba Allah. Sifat-sifat tercela ini sangat berbahaya dalam tatanan kehidupan sosial umat manusia yang mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi.

Oleh karena itu, manusia sebagai khalifah harus selalu berkorban dalam menjalankan amanahnya di muka bumi ini, agar dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan kehendak Allah SWT, yaitu semua makhluk tunduk dan beriman kepada Allah, seraya mengucapkan tasbih, “Sabbaha lillahi ma fi samawat wa al-ard.”

Penulis: Dr. K. H. Asmawi, M.Ag., Dosen UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

Editor: Ulil Abshor
Photographer: Muhlasin
Skip to content