Falsafah Akhlak Nabi SAW: Ilmu, Ketokohan, dan Istiqamah

Kontributor:

kyai asmawi opini scaled

Pada peringatan Maulid kali ini, alangkah baiknya jika kita memperkokoh diri sebagai umat Nabi Muhammad SAW dengan mengikuti ajaran, sunnah, dan akhlaknya, hingga benar-benar menjadi pribadi-pribadi yang diharapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana sabda beliau: 

أكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”

Sudah menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk meningkatkan kualitas imannya, yang menurut Nabi Muhammad SAW dapat dicapai dengan terus memperbaiki kualitas akhlak yang mulia. Dalam hal ini, dinamika akhlak umat Nabi harus selalu dijaga dengan berpatokan pada teladan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau telah memberikan contoh-contoh akhlak yang terpuji dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam perilaku yang diperintahkan maupun perilaku yang harus dihindari. Akhlak tersebut kemudian dikenal dalam ilmu akhlak sebagai akhlaq mahmudah (akhlak yang terpuji) dan akhlaq madzmumah (akhlak yang tercela).

Di antara akhlak terpuji yang diajarkan adalah sifat dermawan, rendah hati, santun, pemberani, bertanggung jawab, jujur, amanah, fathanah, toleransi, sabar, tidak boros, menghormati yang lebih tua, tidak zalim, menepati janji, percaya diri, dan tidak berkata kotor. Akhlak tercela yang harus dihindari, di antaranya adalah sifat kikir, sombong, penakut, tidak bertanggung jawab, berbohong, khianat, bodoh, ingkar janji, tidak percaya diri, dan berkata kotor, yang semuanya dianggap buruk dalam pandangan Islam dan adat kebiasaan manusia.

Penerapan akhlak terpuji maupun tercela dapat menjadi bagian dari kepribadian umat Nabi Muhammad SAW jika kita, sebagai mukmin dan muslim, memiliki pengetahuan tentang ilmu akhlak ini. Oleh karena itu, momen peringatan Maulid Nabi ini sebaiknya dimanfaatkan oleh umat Muhammad untuk memperoleh ilmu-ilmu akhlak yang diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana firman Allah SWT tentang teladan Rasulullah: 

لقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بالمؤمنين رَءُوفٌ رَّحِيمٌ 

“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, dia sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”

Teladan dari Nabi Muhammad SAW tidak perlu diragukan lagi. Beliau, meskipun manusia biasa seperti kita, lahir dalam sebuah keluarga, bermasyarakat, dan mengalami dinamika kehidupan yang sama seperti manusia pada umumnya. Pengetahuan tentang akhlak Nabi Muhammad SAW harus diperoleh melalui mencari ilmu, dengan mempelajari contoh-contoh yang telah beliau tunjukkan. Oleh karena itu, dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, di mana pun diadakan, biasanya diisi dengan pengajian, seminar, dan kajian yang membahas tentang akhlak Nabi Muhammad SAW. Meskipun seremonial Maulid Nabi beragam, seperti majelis shalawat, dzikir tahlil, pengajian akbar, doa bersama, atau perlombaan, semua itu berujung pada tujuan yang sama, yaitu mendapatkan ilmu tentang Nabi Muhammad SAW.

Kelahiran Nabi Muhammad SAW terjadi sekitar 15 abad yang lalu. Jika diukur dengan kekuatan ingatan manusia biasa, tentu banyak yang sudah lupa atau tidak mengetahui fakta sejarah yang sebenarnya. Satu-satunya sumber yang otentik adalah Al-Qur’an, hadits, serta buku-buku atau kitab-kitab sejarah. Oleh karena itu, pengajian yang bersumber pada bukti-bukti sejarah yang otentik sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada umat tentang profil ideal Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, ketokohan ulama juga memiliki peran penting dalam menyiarkan akhlak Nabi SAW. Orang-orang yang memahami, mengetahui, dan memberikan teladan perilaku Nabi SAW adalah para ulama, sebagaimana sabda Nabi: 

الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ 

“Ulama adalah pewaris para nabi.”

Hadis ini mencerminkan bahwa ulama adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ajaran Nabi SAW dan mewarisinya, sehingga menjadi teladan bagi umat. Ketokohan, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi ketika menyebarkan Islam, adalah suatu keniscayaan yang juga terdapat dalam diri para kyai dan ulama. Di Indonesia, sosok pemimpin agama seperti kyai menjadi panutan bagi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, di mana masyarakat sering mencontoh tindakan dan perilaku ulama atau tokoh yang mereka hormati.

Dalam konteks ini, sejalan dengan pengertian akhlak yang disampaikan oleh Al-Ghazali: 

الخُلُق: عبارة عن هيئة للنفس راسخة تصدر عنها الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر وروية 

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menghasilkan perbuatan dengan mudah dan tanpa butuh pemikiran yang mendalam.”

Pembentukan akhlak membutuhkan pengetahuan yang mendalam, disertai dengan praktik yang konsisten serta contoh dari para guru dan tokoh, yang dilakukan secara berulang hingga menjadi kebiasaan.

Dengan demikian, peringatan Maulid Nabi seharusnya mengedepankan tiga hal utama: aspek ilmiah, aspek praktik dan keteladanan (uswah), serta aspek kesinambungan dalam mengamalkan sunnah Nabi Muhammad SAW (istiqamah). Tanpa menggabungkan ketiga aspek ini dalam pembentukan akhlak mulia, maka hikmah Maulid tidak akan diraih secara utuh. Ilmu dan amal harus senantiasa dijaga agar membentuk pribadi yang teguh dan istiqamah, sehingga umat Nabi Muhammad SAW tidak mudah terpengaruh oleh godaan-godaan negatif yang dapat merusak kepribadian. Itulah esensi dari Maulid Nabi Muhammad SAW sebagaimana sabdanya: 

إنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا 

“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling baik akhlaknya di antara kalian.”

Wa Allahu A’lam.

Penulis: Dr. KH. Asmawi, M.Ag., Pengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Editor: Ulil Abshor
Skip to content