Tulungagung—Kesetaraan bagi penyandang disabilitas bukan lagi sebatas wacana. UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung (UIN SATU) mencoba mendorong langkah nyata lewat Studium General bertajuk “Memperkuat Peran Ulama Perempuan untuk Pemenuhan Hak-Hak Disabilitas di Indonesia”, Senin (22/9).
Forum ini diinisiasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) bersama Pusat Studi Gender, Anak, dan Disabilitas (PSGAD). Tujuannya jelas: membangun komitmen bersama agar difabel bisa hidup setara, tanpa lagi menghadapi hambatan sosial maupun keagamaan.
Acara ini menghadirkan tiga narasumber yang selama ini konsisten mengadvokasi isu gender dan disabilitas: Hj. Umy Zahroh, M.Kes., Ph.D., Kepala PSGAD LP2M UIN SATU Tulungagung; Dr. Nur Rofiah dari Majelis Musyawarah KUPI; dan Fatimah Asri Mutmainnah, Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND).
“Penyandang disabilitas adalah bagian utuh dari bangsa ini yang memiliki hak, martabat, dan potensi sama dengan warga lainnya,” ujar perwakilan Yayasan Fahmina. Ia berharap Tulungagung bisa menjadi contoh daerah ramah disabilitas.
Rektor UIN SATU, Prof. Abd. Aziz, menegaskan kampusnya sudah mulai bergerak lewat program Teman Difabel yang baru diluncurkan pekan lalu. Program ini bahkan ditargetkan berkembang menjadi wadah sertifikasi profesi, agar difabel diakui sebagai pendidik maupun tenaga profesional bersertifikat resmi dari BNSP.
“Di pesantren, fasilitas ramah disabilitas masih jarang ditemui. Padahal mereka juga punya hak sama untuk belajar,” kata Aziz.
Bagi banyak peserta, forum ini bukan sekadar ruang akademik. Kehadiran ulama perempuan, akademisi, dan komisioner negara memberi harapan baru bahwa isu disabilitas akan semakin diperhatikan.
Di balik diskusi yang serius, ada pesan sederhana yang menggugah: semua manusia sama di mata Tuhan. Yang membedakan hanyalah ketakwaan, bukan kondisi fisik.
Pesan itu jadi pengingat, menghormati penyandang disabilitas sama artinya dengan menghormati Sang Pencipta.