Institut Transvaluasi; Islam Jawa dalam Arus Islam Transnasional

Kontributor:

(Tulungagung) Institut Transvaluasi yang diadakan oleh jurusan Filsafat Agama, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung berjalan dengan lancar, Rabu (25/06). Acara itu mengambil tema “Ancaman ‘Kepunahan’ Islam Jawa di Tengah Arus Islam-Transnasioal” dengan pemateri Ulil Abshar Abdalla. Pukul 08.30 WIB, Aula utama IAIN Tulungagung tidak kuat menampung para peserta diskusi, mulai dari mahasiswa, dosen dan civitas akademika IAIN Tulungagung ikut andil dalam perhelatan kajian keilmuan ini. Kedatangan Ulil Abshar Abdalla merupakan kali pertamanya ke Tulungagung.

Sambutan dari Dr. Maftukhin, M.Ag. selaku Rektor IAIN Tulungagung dimulai dengan Pemaparan mengenai Perbedaan tradisi keislaman disetiap daerah di Nusantara. Pusat peradaban tergantung pada lokasi letak geografis (gunung, laut, dataran), sehingga perbedaan itu akan menimbulkan keragaman terhadap Islam yang berkembang di Nusantara.

“Di bumi jawa, setiap agama yang berkembang itu, tentu akan mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan tradisi dan adat tertentu. Maka, yang disebut sebagai kearifan tentu amat berbeda antar bangsa”, kata Rektor IAIN Tulungagung.

Ulil Abshar Abdala saat memulai ceramah ilmiah menuturkan, “Tema yang akan kita bicarakan pada pagi hari ini kira-kira adalah pertarungan antara jenis Islam yaitu adalah Islam jawa, yang kedua adalah Islam yang didalam judul diskusi ini adalah Islam-Transnasional”.

Masuknya agama Islam menandai sejarah historis baru tentang kondisi  masyarakat di Jawa. Tradisi jawa mulai berbaur dengan Agama yang datang ke bumi Nusantara. Bapak Ulil lebih banyak membicarakan sejarah Islamisasi Jawa mulai dari sebelum Islam datang, kerajaan Hindhu Budha, masuknya Islam, kerajaan Islam, kolonialisme, kemerdekaan, Reformasi sampai sekarang. Kekalahan Islam Jawa menghadapi gempuran Islam-Transnasional menimbulkan  marginalisasi dan dominasi satu pihak. Perlu banyak sekali hal untuk kesetaraan.

Menurut Akhol Firdaus, Direktur Institut Transvaluasi “Setidaknya dalam dua tahun terakhir saya meneliti dan mendalami kejawaan dan karena itu apa yang disebut mas Ulil sebagai kebangkitan kaum adat sesungguhnya tidak terlalu kuat untuk dianggap sebagai kebangkitan, belum itu. Tokoh seperti Eva Kusuma Sundari DPR RI masih menyebut cultural genoside, dimana-mana masyarakat adat dan penghayat masih menghadapi tembok yang besar untuk lebih setara di kebangsaan Indonesia”.

Zulfatun Nikmah, M.Hum menambahkan “Dalam literatur Jawa klasik seperti serat Centini, serat Cebolek, dan serat-serat yang lainnya, diidealkan bahwa perempuan itu  memiliki tiga fungsi penting yaitu manak, macak, masak, yang ini kemudian saya amati itu justru tidak punya pertempuran dengan wacana Islam-Transnasional melainkan justru kawin mawin kalau bahasanya  pak Akhol”.

Pemaknaan Fiqih dan Syariah punya relasi dengan budaya setempat, buktinya semua itu dapat diterima. “Sebetulnya Islam bisa menangkap dari adat itu, Fiqih itu kan luas sekali lain dengan Syariah, Syariah dimanapun tetap walupun kita hidup diatas bumi” Kata Timbul.

Ulil Abshar punya pandangan berkaitan dengan definisi agama. “Soal definisi Agama ini memang  lebih merupakan ke kontestasi politik ketimbang merupakan academic inquiryatau pencarian akademis, ketika orang bicara sekarang ini mengenai definisi agama itu kan urusannya adalah persoalan status pengakuan negara”, kata Ulil Abshar Abdalla.

Agama yang struktural timpang tindih dengan agama yang penekanan pada penghayatan. Kekurangan dari agama yang terstruktur punya kelemahan dalam Identitas kelompok yang menimbulkan ego dan persaingan. Agama lokal juga punya kelemahan yang tidak punya sruktur. Perlu dilakukan dialog antar keduanya untuk saling melengkapi.

Acara ditutup dengan pemberian sertifikat dan foto bersama dengan Ulil Abshar Abdalla. (instrans for humas)

Skip to content