Tulungagung—Dukungan untuk penyandang difabel kembali hadir dari dunia kampus. Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung (UIN SATU Tulungagung) meluncurkan program internasional bernama Teman Difabel, Rabu (17/9). Program ini merupakan hasil kerja sama dengan Universiti Sains Islam Malaysia (USIM).
Peluncuran dilakukan di Gedung Rektorat UIN SATU dalam rangkaian acara Launching Ceremony and Symposium. Rektor UIN SATU, Prof. Abd. Aziz, menyambut langsung kehadiran delegasi USIM yang dipimpin Dr. Fatimah bersama 15 anggota komunitas Sahabat Faqeh dari mahasiswa USIM.
“Ini adalah pertemuan yang sangat signifikan, khususnya untuk memperkuat sinergi kolaborasi antara USIM dan UIN SATU,” kata Dr. Fatimah dalam sambutannya.
Program ini lahir dari riset bersama antara UIN SATU dengan USIM yang sudah dilakukan sejak 2024. Tak hanya soal akademik, Teman Difabel juga membawa misi sosial. Para relawan akan turun ke masyarakat, menyampaikan dakwah yang ramah difabel, dimulai dari Tulungagung dan ditargetkan bisa meluas ke seluruh Indonesia.
Dalam arahannya, Prof. Abd. Aziz menegaskan bahwa difabel sebaiknya dipandang dari sisi preventif, bukan hanya kuratif.
“Difabel bisa muncul dari kurangnya edukasi, misalnya soal gizi sejak masa perencanaan hingga pertumbuhan anak. Maka edukasi sejak dini menjadi kunci,” jelasnya.
Prof. Abd. Aziz juga mewacanakan kerja sama penerbitan jurnal akademik yang melibatkan tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Menurutnya, langkah ini bisa mengantarkan UIN SATU sebagai pionir pendirian program studi khusus difabel.
Tak berhenti di situ, UIN SATU dan USIM juga menyiapkan inovasi digital. Dari media dakwah berbasis anak muda, hingga aplikasi online sebagai ruang konsultasi gratis bagi difabel dan orang tua.
“Aplikasi ini juga bisa mengumpulkan data dari Indonesia maupun Malaysia, yang nantinya dipakai untuk riset bersama. Manfaatnya akan sangat luas,” pungkas Prof. Aziz.
Semangat mahasiswa ikut terasa dalam program ini. Sebelum peresmian, UIN SATU melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) sudah membuka rekrutmen volunteer. Responsnya luar biasa: ada 400 mahasiswa yang mendaftar, padahal hanya dibutuhkan 30 relawan.
“Awalnya saya ragu apakah bisa diterima, tapi ternyata ini jadi kesempatan berharga untuk mengabdi,” ujar Nurul, salah satu pendaftar.
Antusiasme ini menjadi tanda bahwa isu difabel semakin mendapat perhatian di kalangan mahasiswa.
Dengan dukungan internasional, keterlibatan mahasiswa, dan gagasan inovatif, Teman Difabel diharapkan jadi langkah nyata perguruan tinggi Islam dalam menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi penyandang difabel.