Menag Nasaruddin Umar Serukan “Demaskulinisasi Teologi” dan Gerakan Ekoteologi Global di AICIS+ 2025

Kontributor:

20251031 Menag Nasaruddin Umar Serukan Demaskulinisasi Teologi dan Gerakan Ekoteologi Global di AICIS 2025

Depok (Kemenag) — Menteri Agama Nasaruddin Umar melontarkan gagasan segar dan kontroversial namun sarat makna dalam forum Annual International Conference on Islam, Science, and Society (AICIS+) 2025 di Depok, Kamis (30/10/2025). Ia menyerukan perlunya “demaskulinisasi teologi” — pembaruan cara pandang keagamaan yang selama ini terlalu maskulin menuju teologi yang lebih feminin, welas asih, dan ramah lingkungan.

Menurut Nasaruddin, wajah teologi selama berabad-abad dibangun dalam kerangka patriarkis, sehingga menempatkan Tuhan seolah-olah berwajah laki-laki, keras, dan berjarak. Padahal, jika merujuk pada sumber utama Islam, 80 persen dari Asmaul Husna (99 nama indah Allah) justru menggambarkan sifat-sifat yang lembut, penyayang, dan penuh kasih — atribut yang secara teologis lebih dekat dengan sifat feminin.

“Tuhan lebih bersifat perempuan daripada laki-laki,” tegas Menag Nasaruddin di hadapan peserta AICIS+. “Sudah saatnya kita membangun teologi yang empatik, penuh kasih, dan peduli pada kehidupan. Kita perlu mendemaskulinisasi teologi kita.”

Ia menjelaskan bahwa demaskulinisasi teologi bukanlah upaya mengganti konsep ketuhanan, melainkan mengembalikan keseimbangan spiritual dan moral dalam memahami sifat-sifat Tuhan. Dengan teologi yang lebih feminin, manusia diharapkan mampu menghadirkan kasih sayang, kedamaian, dan keadilan sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih jauh, gagasan itu juga terkait dengan isu ekoteologi — pendekatan teologis terhadap krisis lingkungan. Menag menegaskan bahwa penyelamatan bumi harus berbicara dalam bahasa agama, sebab spiritualitas memiliki kekuatan moral yang dapat menggerakkan umat untuk bertindak nyata.

“Kita harus menggunakan bahasa agama untuk menyelamatkan lingkungan,” katanya, mengutip seruan Paus Fransiskus dalam pertemuan lintas iman sebelumnya. “Tanpa bahasa agama, sulit menggerakkan hati umat manusia untuk mencintai bumi.”

Dalam pandangan Nasaruddin, krisis lingkungan bukan hanya persoalan ilmiah, tetapi masalah spiritual dan moral umat manusia. Maka, ekoteologi menjadi jembatan antara iman dan tanggung jawab ekologis.

“Bumi ini adalah rumah bersama. Setiap pohon, air, dan hewan memiliki hak untuk hidup. Agama harus menjadi energi spiritual yang menumbuhkan cinta kepada seluruh ciptaan,” ujarnya.

Pidato tersebut disambut antusias oleh peserta AICIS+ 2025. Banyak akademisi menilai gagasan Menag itu menandai arah baru pemikiran Islam Indonesia — Islam yang tidak hanya berorientasi pada hukum dan ritual, tetapi juga pada kemanusiaan, kesetaraan gender, dan kelestarian alam.

Pernyataan Nasaruddin Umar menempatkan Indonesia di garis depan dalam wacana “Islam ekologis dan inklusif” yang kini menjadi arus baru pemikiran dunia. Gagasannya tentang demaskulinisasi teologi bukan sekadar retorika akademik, melainkan seruan moral global: bahwa masa depan bumi bergantung pada sejauh mana manusia mampu menumbuhkan kembali sifat kasih — sifat feminin dari Tuhan — dalam kehidupan beragama.(*)

Editor: Kemenag RI
Photographer: Muhlasin
Skip to content