Menteri PPN/Kepala Bappenas Tinjau Gedung SBSN di UIN SATU Tulungagung

Kontributor:

Tulungagung – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Nasional (Menteri PPN/ Kepala Bappenas) Dr. (H.C.) H. Suharso Monoarfa lakukan peninjauan gedung SBSN Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah (UIN SATU) Tulungagung pada Jum’at sore (01/10/2021) sekira pukul 15.00 WIB.
Hadir menyambut Menteri PPN/Kepala Bappenas antara lain Wakil Rektor I UIN SATU Tulungagung, Dr. Abd. Aziz, M.Pd.I. yang mewakili Rektor yang sedang berhalangan hadir serta segenap pejabat dan jajaran di lingkungan UIN SATU Tulungagung. Hadir pula dalam acara tersebut Bupati Tulungagung, Maryoto Birowo beserta Forkopimda, Perwakilan dari Kementerian Agama RI serta beberapa pejabat lainnya.

Wakil Rektor I UIN SATU Tulungagung, Dr. Abd. Aziz, M.Pd.I dalam sambutannya pada acara tersebut menyampaikan ucapan selamat datang kepada menteri beserta rombongan. Tak lupa dia juga menyampaikan permohonan maaf dari Rektor yang tidak bisa menyambut karena harus mengikuti pelantikan sebagai Rektor UIN SATU Tulungagung di Kementerian Agama pusat. 
Dalam sambutan tersebut pihaknya mewakili sivitas akademika mengucapkan terimakasih atas diberikannya fasilitas yang luar biasa berupa pembangunan tiga gedung yang mencakar langit anggaran Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN). Tiga gedung tersebut antara lain Gedung KH Saifuddin Zuhri yang dibangun pada 2015 senilai 35 milyar rupiah, Gedung KH Arief Mustaqiem yang dibangun pada 2016 senilai 42 milyar rupiah dan Gedung Perpustakaan yang dibangun pada 2019 senilai 25 milyar rupiah.
“Dan alhamdulillah kami pada 2022 juga diberikan kembali sejumlah 36 Milyar dan in sya’ Allah lokasi kami masih banyak pak menteri,” kata Abd. Aziz yang kemudian dilanjutkan pemutaran video profil gedung SBSN sekaligus laporan pemanfaatan gedung di UIN SATU Tulungagung.
Sementara itu, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Dr. (H.C.) H. Suharso Monoarfa dalam sambutannya menyampaikan bahwa pendidikan tinggi itu memang tumbuh dan luar biasa berkembang di tanah air kita tercinta. Ada kurang lebih 4800an perguruan tinggi dan tidak sampai 10 persen yang dikelola oleh pemerintah melalui BHMN atau lainnya, sisanya dikelola oleh swasta.
Menurut Suharso Monoarfa, kalau dilihat dari puncak itu, UIN ini patut bersyukur menjadi bagian yang didemonstrasikan kehadirannya oleh kemampuan kapasitas fiskal nasional. Terlepas dari cara pembiayaannya seperti apa, salah satunya SBSN, tapi setidak-tidaknya dia berharap baik sivitas akademika, para guru besar di sini dan wabil khusus para mahasiswa mensyukuri hal ini, karena lembaga pendidikan tinggi yang dibiayai oleh masyarakat jauh lebih besar dibanding yang dibiayai oleh pemerintah yang salah satunya adalah UIN Tulungagung ini.
“Biasanya sesuatu yang elit itu tuntutannya hasilnya mesti besar sekali, dampaknya juga besar sekali. Jadi harapannya seperti tadi disebut Ibu Wakil Gubernur dari sini, Ibu Bupati Blitar juga alumni dari sini, maka UIN bisa menjadi center of excellence di wilayah ini yang melahirkan kader-kader terbaik di wilayah ini yang bisa dipersembahkan untuk keperluan nasional,” kata Suharso Monoarfa.
Selain itu Suharso juga berharap supaya dikembangkan program-program studi yang punya potensi atau yang mampu menjawab tantangan-tantangan ke depan. Sebab tradisi belajar, tradisi pendidikan tinggi itu sudah dicontohkan jauh-jauh hari oleh sejarah peradaban dunia ini di mana salah satu pelopornya adalah para guru besar, para pendidik dari cendekiawan-cendekiawan muslim.
Dikatakan Suharso Monoarfa, cendekiawan-cendekiawan muslim itu luar biasa hebatnya sebelum abad pertengahan. Kira-kira ada 700 tahun cendekiawan-cendekiawan muslim itu menguasai dunia. Kemudian turun perlahan-lahan pada abad pertengahan atau abad ke-15 dan itu menandai bangkitnya barat Eropa dan mereka mengatakan itulah zaman rennaissance, zaman kebangkitan. Jadi zamannya kebangkitan itu ditandai dengan turunnya peranan dari pendidikan yang awalnya dimotori, dipelopori, diteladankan oleh para cendekiawan muslim.
“Luar biasa, tujuh ratus tahun lamanya dikuasai oleh cendekiawan kita dan itu dimulai sejak mulai Rasulullah menyebarkan, menebarkan kedamaian di jazirah Timur Tengah dan sampai masuk ke Eropa,” kata Suharso Monoarfa.
Oleh karenanya, masih menurut Suharso Monoarfa, kalau kita percaya pada sejarah maka saat ini sudah kurang lebih 700 tahun dunia dikuasai oleh para ilmuwan barat, dan kini saatnya cendekiawan muslim harus kembali menguasai dunia. Suharso menyebut beberapa tokoh muslim yang mendapatkan hadiah Nobel seperti Doktor Abdul Salam yang mendapatkan hadiah Nobel di bidang Fisika dan Presiden Mesir, Anwar Sadad yang mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian.
“Tetapi yang ingin saya sampaikan adalah penguasaan science yang harus secara perlahan-lahan pasti dikuasai kembali. Itu penting kalau kita ingat sejarah itu,” tegas Suharso Monoarfa.
Pada bagian lain Suharso Monoarfa mencontohkan betapa besarnya kontribusi para cendekiawan Islam kepada ilmu pengetahuan. Dia mencontohkan bahwa vaksin yang ada sekarang tidak lepas dari teori yang ditemukan cendekiawan muslim bernama Ar Razi atau di yang dikenal Rhazes. Meskipun yang kemudian diakui di dunia kedokteran adalah seorang dokter dari Barat, namun dokter tersebut mengakui bahwa metodologi yang dia dapat adalah dari Rhazes.
“Banyak para cendekiawan kita yang hebat-hebat seperti itu. Nah mengapa kemudian kita menurun. Karena tradisi kecendekiawanan, tradisi berdialog dalam platform saintifik, berdialog dalam platform knowledge, dialog-dialog seperti itu, itu makin lama makin turun,” kata Suharso Monoarfa.
Lebih lanjut, dia mengatakan gadget itu sebenarnya mempermudah, tapi malah membuat kita menjadi mungkin saking mudahnya menjadi malas. Sehingga tidak terjadi apa yang disebut dengan pembahasan, diskusi, perdebatan yang intens yang melahirkan teori-teori baru, yang melahirkan aksioma-aksioma baru.
“Oleh karena itu, saya berharap, saya senantiasa kalau datang di perguruan tinggi, ini yang saya ingatkan khususnya kalau di UIN. Apalagi prodinya sudah akan terbuka ke prodi umum saya harap para mahasiswa mau menghidupkan tradisi itu dengan dibimbing oleh para guru besarnya,” harap Suharso Monoarfa.
Supaya terjadi komunikasi seperti itu, Suharso Monoarfa berharap supaya para guru besar jangan menempatkan dirinya menjadi elitis. Karena itulah yang terjadi pada zaman menjelang abad ke-14 di mana para cendekiawan muslim tiba-tiba seperti menara gading menjadi orang-orang yang eksklusif. Pengetahuannya tidak disebarluaskan, tidak ada diseminasi terhadap pengetahuan itu, akibatnya pengetahuan hanya untuk dirinya sendiri dan disitulah terjadi kekakuan kemudian penurunan kualitas dan akhirnya dilindas oleh sejarah.
Oleh karena itu sebelum mengakhiri sambutannya Suharso Monoarfa kembali menyampaikan harapannya supaya tradisi diskusi dan dialog para mahasiswa dengan para dosen dan guru besarnya ini bisa dihidupkan di UIN Tulungagung. Supaya benar-benar menjadi sebuah universitas terdepan di kawasan ini dan kehadirannya benar-benar mencerahkan dan dirasakan oleh masyarakat.(humas)
Skip to content