Tulungagung — Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung (UIN SATU Tulungagung) menjadi tuan rumah penyelenggaraan Graduate Forum 2025 bertajuk “Everyday Religion: Materiality and Sensibility”. Forum ini akan dilaksanakan pada 28 Juli hingga 30 Juli 2025. Selama tiga hari, partisipan akan mengikuti serangkaian acara, mulai dari sesi sharing akademik, kelas mentoring, telaah disertasi, bedah buku, dan pametan lukisan.
Forum akademik ini mengangkat topik penting namun masih jarang didiskusikan secara mendalam oleh para akademisi yakni tentang pengalaman keagamaan yang terbentuk atau membentuk dalam rupa material, ritual, sensasi, dan interaksi keseharian umat beragama.
Rektor UIN SATU Tulungagung, Prof. Abd. Aziz, menyebutkan bahwa forum ini turut membahas isu di tengah masyarakat yang kian kompleks dan plural. Perlu ditekankan saat ini, Islam harus mampu bertransformasi menjadi praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
“Kegiatan kali ini tentu tidak saja diharapkan menjadi ajang diskusi akademik, namun juga sebuah upaya membangun jejaring intelektual yang saya yakin akan berguna di masa mendatang,” ujar Prof. Abd. Aziz dalam Welcoming Speech upacara pembukaan di Aula Gedung Prajnaparamita, Senin, 28 Juli 2025.
Rektor turut menyampaikan bahwa forum ini merupakan kegiatan yang substansial dan strategis karena mempertemukan para ahli, peneliti, dan mahasiswa pascasarjana hingga doktoral dari berbagai latar belakang disiplin, agama, dan budaya. Forum ini menjadi panggung sekaligus ruang diskusi berbagai hasil riset lintas bidang yang kaya akan perspektif.
“Graduate Forum 2025 ini dapat menjadi katalisator lahirnya berbagai pemikiran progresif yang segar, peningkatan kolaborasi dan jejaring baru serta komitmen untuk terus berkarya dan hidup bermakna,” harap Rektor.
Dalam kesempatan ini, Prof. Abd. Aziz juga memperkenalkan sebuah arah baru pengembangan kampus yang berakar dari refleksi perjalanan historis dan komitmen masa depan. Ia menyampaikan bahwa pada dies natalis ke-57 UIN SATU Tulungagung yang bertepatan pada 17 Juli 2025 lalu, kampus ini telah merumuskan sebuah resolusi penting yang menjadi pondasi bagi arah pengembangan institusi ke depan. Resolusi tersebut diberi nama “ReliGreen”, sebuah konsep yang menggabungkan nilai-nilai spiritualitas keagamaan dengan tanggung jawab ekologis.
Tak hanya itu, ia menegaskan bahwa konsep ReliGreen merupakan bentuk implementasi UIN SATU Tulungagung terhadap salah satu program prioritas Kementerian Agama RI, yaitu Ekoteologi, yang telah dicanangkan oleh Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar.
“Kami berharap ReliGreen dapat terrealisir dalam waktu dekat dan membawa perubahan yang berdampak positif secara signifikan terhadap masyarakat, utamanya di Kabupaten Tulungagung,” imbuhnya.
Setelah seremoni pembukaan, rangkaian forum dilanjutkan dengan sesi Engaging Talk bersama empat pemateri dari lintas perguruan tinggi. Mereka memaparkan hasil penelitian masing-masing yang mengangkat tema besar tentang praktik keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemateri pertama, Farid F. Saenong dari Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) sekaligus Koordinator Staf Khusus Menteri Agama RI, kemudian Verena Meyer pemateri dari Leiden University, Syaifudin Zuhri dari UIN SATU Tulungagung, dan dari Moch. Nur Ichwan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Koordinator Staf Khusus Menteri Agama RI, Farid F. Saenong, memaparkan kajiannya mengenai “When the Prophet Visited Bantaeng: An Anthropology of Imagination” yang menyoroti tentang bagaimana komunitas di Bantaeng, Sulawesi Selatan, menghidupkan narasi keagamaan melalui imajinasi kolektif yang diyakini sebagai bagian dari proses Islamisasi di wilayah tersebut.
Farid menjelaskan bahwa beberapa tokoh budaya lokal meyakini Nabi Muhammad pernah mengunjungi Bantaeng sebagai bagian dari cerita turun-temurun yang terus hidup dalam praktik budaya seperti festival Pa’jukukang, ziarah makam, dan ritual pensucian diri.
Berdasarkan etnografi jangka panjang, Farid melihat bahwa masyarakat secara aktif membangun apa yang disebut ellenchos, atau bentuk keterhubungan spiritual yang merepresentasikan hubungan religius dengan masa lalu. Menurutnya, ruang imajinasi ini memberi makna tersendiri bagi umat Muslim lokal dalam membentuk dan memperkuat identitas keagamaan yang kontekstual.
“Masuk ke dalam sejarah, mengenai antropografi historis, sejarah yang spesifik, pembentukan sejarah, atau apa pun itu. Dalam hal ini, para antropolog hanya mendengarkan apa yang diyakini orang, karena antropologi didefinisikan dengan sangat sederhana. Ini tentang apa yang orang pikirkan dan mengenai apa yang mereka lakukan,” tutur M. Farid
Selain itu, Verena Meyer dari Leiden University turut membahas temuan etnografisnya di Jawa yang berfokus pada situs makam sebagai simbol ketegangan antara dua nilai utama dalam tradisi Islam tentang kesederhanaan dan kelebihan. Melalui kajian berjudul “Fighting Excess from Beyond: Obstinate Graves and the Ambivalent Virtue of Simplicity in Islamic Java”, Meyer menyoroti bagaimana sebagian umat merayakan makam dengan mewah, sementara kelompok modernis menuntut kesederhanaan.
Sementara itu, Syaifudin Zuhri, dosen sekaligus Wakil Rektor 2 dalam makalahnya berjudul “Juru Kunci: Poetics and Politics of Heritage in Contemporary Indonesia”, mengangkat peran juru kunci sebagai penjaga warisan budaya yang tak hanya menjaga situs-situs ziarah, tetapi juga berperan penting dalam membentuk identitas religius lokal. Ia menjelaskan bahwa juru kunci menjalankan fungsi sebagai perantara antara kekuatan tradisi, Islamisasi, dan otoritas negara.
Adapun Moch. Nur Ichwan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, memaparkan hasil penelitiannya yang bertajuk “Colloquial Shariah and Urban Leisure: Everyday (Im-)piety in the Urban Spaces of Banda Aceh” mengamati bagaimana nilai-nilai syariah dimaknai secara fleksibel dalam ruang-ruang santai seperti Rex Square dan kedai kopi di Banda Aceh. Ia menyebut praktik ini sebagai colloquial Shariah yakni ekspresi religiusitas yang tidak selalu terikat pada bentuk formal dan legalistik.
Paparan dari para pemateri ini menegaskan bahwa praktik keagamaan tidaklah monolitik. Agama tidak hanya hadir di ruang-ruang ibadah formal, tetapi juga membentuk dan dibentuk dalam interaksi sehari-hari, masa lalu, hingga dalam ruang-ruang santai yang sarat makna. Forum ini pun menjadi cerminan bahwa kajian agama keseharian mampu menjembatani wacana lokal dan global, serta memperluas horizon pemahaman tentang Islam yang hidup dan kontekstual.