Harmoni Syawal: Menjalin Sinergi Tulus dan Maaf menuju Etos Profesional

Kontributor:

Penulis: Prof. Dr. H. Abd. Aziz, M.Pd.I., Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

Salah satu momen spesial yang ditunggu dari bulan Syawal di lingkungan kampus UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung adalah kegiatan Halal Bihalal. Momen ini bukan sekadar rangkaian berjabat tangan atau deretan kursi rapi dalam sebuah aula besar. Namun, halal bi halal merupakan ruang temu yang jujur, tempat semua hadir sebagai manusia yang tidak sempurna dan pernah melakukan kesalahan serta kekhilafan. Manusia yang saling mengakui keterbatasan, saling memaafkan dengan tulus, dan merawat ikatan yang lebih dalam dari sekadar formal kedinasan yakni ikatan sebagai keluarga besar.

Halal bi halal menjadi titik tenang setelah laju cepat berbagai tugas pekerjaan dan hiruk-pikuk agenda institusi. Kegiatan ini menyuguhkan jeda, namun bukan jeda yang kosong, melainkan jeda yang penuh makna. Halal bi halal juga memberi ruang untuk menoleh ke belakang, menakar langkah yang sudah ditempuh, serta menata ulang kompas ke depan dengan lebih jernih dengan hati yang lapang. Di momen inilah, penghargaan yang tulus diberikan kepada para purna tugas UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Salah satunya adalah pustakawan senior yang selama ini berada di balik kemajuan literasi kampus. Sosok-sosok seperti beliau kerap bekerja dalam diam, tetapi dampaknya menggema dalam ruang akademik. Penghormatan padanya adalah bentuk pengakuan bahwa institusi yang kokoh tidak pernah berdiri di atas satu dua tokoh, melainkan atas pondasi kerja kolektif yang rela memberikan kontribusi nyata bagi lembaga.

Menariknya, dalam momen yang sama, kampus juga sedang berada dalam pusaran dinamika nasional. Ketika pemerintah pusat memulai era efisiensi, terutama dalam pengelolaan anggaran dan kepegawaian, pihak kampus sudah terlebih dahulu membaca arah angin. Kebijakan bukan sekadar direspons, tapi diantisipasi. Sebuah upaya yang menunjukkan bahwa insting kelembagaan bisa menjadi semacam kompas dalam mengarungi gelombang birokrasi dan anggaran. Era efisiensi merupakan tantangan dan peluang bagi institusi untuk selalu berkembang sesuai dengan dinamika pemerintahan serta sosial kemasyarakatan.

Yang patut diapresiasi adalah bagaimana tantangan efisiensi itu tidak serta merta memangkas hal-hal fundamental dan kebutuhan pokok bagi kampus. Pegawai outsourcing tetap terjaga, satuan pengamanan tetap kuat, dan anggaran untuk mahasiswa maupun riset akademik tidak terganggu. Hal ini bukan semata soal bertahan, tapi tentang bagaimana membangun keseimbangan antara kepatuhan fiskal dan keberpihakan sosial. Perlunya pengambilan keputusan yang cermat akan menajamkan hasil atau output kinerja yang profesional dan berdampak nyata. Namun, pemimpin yang baik tidak berhenti pada laporan keberhasilan. Dalam halal bi halal itu, ada pengakuan akan kekhilafan, bukan dengan bahasa defensif, melainkan dengan kesadaran akan kompleksitas jabatan. Ketika seorang pemimpin menyebut dirinya sebagai yang paling mungkin berbuat salah, itu bukan kelemahan, tapi kekuatan untuk memperkuat kepercayaan dan membuka ruang saling memaafkan.

Seiring bertambahnya jumlah dosen, pegawai dan karyawan, tentu dinamika baru akan tumbuh. Kultur kerja akan diuji, ego institusional akan muncul, dan gesekan bahkan konflik bisa saja terjadi. Maka, prinsip sederhana namun jernih kembali diangkat: tradisi baik harus dijaga, sementara tradisi lama yang tak lagi relevan harus ditinggalkan. Inilah bentuk keberanian untuk tumbuh, bukan hanya besar secara angka, tapi matang secara nilai.

Kondusifitas kampus pun menjadi harta tidak ternilai. Bukan berarti kampus ini menolak berbagai kritik atau perbedaan pendapat, tetapi justru karena mampu menjaganya dalam bingkai elegan tanpa perlu berhadapan dengan protes atau gejolak horizontal. Dosen dan pegawai yang memahami perannya sebagai bagian dari entitas negara, termasuk peran Dharma Wanita Persatuan, berperan dalam menciptakan iklim psikologis yang stabil sehingga berdampak pada produktifitas kampus. Kerja-kerja domestik dan sosial yang dilakukan ibu-ibu ini terkadang luput dari narasi resmi, padahal di situlah kekuatan kultural kampus berakar. Maka, sekecil apapun peran dan kontribusi pada setiap pihak perlu mendapatkan apresiasi terbaik dari pimpinan dan lingkungan kampus.

Disisi lain, dalam upaya menjaga keberlangsungan dan kredibilitas institusi, kedisiplinan menjadi keniscayaan. Sudah saatnya seluruh pegawai menyadari bahwa kehadiran bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk konkret dari tanggung jawab publik. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 serta Peraturan BKN Nomor 6 Tahun 2022 telah memberikan rambu-rambu yang tegas namun adil yakni tentang batas toleransi ketidakhadiran, akumulasi keterlambatan, dan sanksi administratif yang menyertainya. Mulai dari teguran lisan hingga pemotongan tunjangan, bahkan pemberhentian, semuanya dirancang bukan untuk menghukum semata, tapi untuk menjaga integritas pelayanan publik yang optimal. Imbauan ini bukan ancaman, tetapi ajakan agar kehadiran di tempat kerja menjadi kehadiran yang utuh: hadir secara fisik, hadir secara mental, dan hadir dengan integritas. Sebab pendidikan bukan produk, melainkan proses yang lahir dari keterlibatan aktif seluruh insan kampus.

Terakhir, panggilan untuk soliditas muncul ketika angka Rp73 miliar lebih disebut sebagai bentuk subsidi pendidikan bagi lebih dari 8.800 mahasiswa sepanjang 2020 hingga 2024. Angka itu bukan sekadar data, melainkan cerita tentang keberpihakan institusi pada mahasiswa. Di sana ada wajah-wajah yang tetap bisa kuliah karena kampus tidak hanya berbicara soal mutu, tapi juga nilai-nilai persamaan dan keadilan.

Halal Bihalal kali ini bukan hanya tentang tangan yang bersalaman, tetapi tentang hati yang diperbarui. Karena kampus yang kuat bukan hanya diukur dari jumlah prestasi kuantitatif saja, tapi dari sejauh mana ia mampu menumbuhkan rasa memiliki, tanggung jawab, dan kepekaan sosial serta dampak luas di masyarakat dalam setiap denyut nadi civitas akademikanya.

Editor: Ulil Abshor
Skip to content