Idulfitri: Keimanan dan Mahabah

Kontributor:

Dalam pengajian Ramadan kemarin, materi terakhir yang disampaikan dikutip dari buku Qami’ al-Thugyan, yang ditulis oleh Zayn al-Din al-Malibari, kemudian diberi komentar (syarah) oleh Syaikh Nawawi al-Bantani, menjelaskan tetang keimanan dan cinta (mahabah), yang nampaknya ini relevan dengan tradisi muslim Nusantara yang sedang menyongsong perayaan hari raya idulfitri.

وَاحْبُبْ لأَهْلِ الدِّيْنِ رُدَّ سَلاَمَهُمْ * عُوْدَنَّ مَرْضَى صَلِّ مَوْتَى أَسْلَمُوْا

Bait nazham ini mempunyai arti “cintailah orang yang beragama, jawablah salamnya, jenguklah orang-orang yang sedang sakit, shalatilah orang-orang matinya”.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh orang Islam kepada sesamanya, di antaranya adalah membangun rasa cinta (wahbub li ahl al-din) dan kasih sayang di antara sesama orang yang beragama Islam. Dengan membangun hubungan kecintaan akan bermanfaat bagi kehidupan seorang muslim di dunia maupun di akhirat.

Memang sesama orang yang beriman kepada Allah dia mempunyai ikatan persaudaraan yang terbangun disebabkan keimanan kepada Tuhan yang sama, Rasul yang sama, kitab suci yang sama, ajaran yang sama, praktik beribadah yang sama. Kesamaan iman dan syariat inilah yang akan menumbuhkan ikatan tidak hanya lahir tetapi juga batin, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.

Ini juga dikatakan oleh landasan teologis Sunnah Nabi Saw, “perbanyaklah berkenalan kepada orang-orang mukmin, maka di setiap orang mukmin ada syafaatnya di sisi Allah di hari kiamat.” Artinya karena keimanan dan izin Allah seorang mukmin akan mendapatkan syafa’atnya, di saat harus mempertahankan semua amal perbuatan di dunia.

Sebagai bentuk realisasi praktik rasa cinta terhadap sesama mukmin dalam kehidupan sehari-hari, seseorang harus menjaga kehormatan saudaranya, saling menolong jika membutuhkan, merasa sedih seandainya mukmin lain sedang mengalami musibah dan masih banyak lagi kebaikan sebagai wujud kecintaan mukmin satu dengan mukmin lainnya.

Gambaran kecintaan seorang mukmin satu dengan mukmin yang lain dalam praktik kesehariannya adalah selalu menebar keselamatan, dengan formalitas mengucapkan salam dan menjawabnya (rudda salamahum).

Islam adalah agamanya, lisannya selalu mendo’akan salam kepada sesama, tangannya salaman. Artinya core ajaran Islam adalah kedamaian dan keselamatan bagi sesama. Tatkala seorang muslim telah diikat dengan keimanannya, maka perbuatannya harus sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan untuk mewujudkan keselamatan dan kedamaian.

Dalam wujud formalnya disebut dengan ucapan salam, yakni “assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,” semoga keselamatan selalu tercurah kepadamu, dan rahmat Allah serta keberkahan dalam hidup. Sungguh mulia ajaran Islam dalam bentuk salam, yang tidak hanya mencerminkan sebuah identitas Islam, tetapi juga ultimate goal dalam beragama.

Kandungan bait di atas juga menerangkan tentang ajaran cinta dan kedamaian sesama muslim yaitu jenguklah saudara-saudara yang sedang sakit (‘udanna mardla). Sebagai sesama orang muslim yang mempunyai ikatan batin, tatkala saudara mengalami kesusahan, maka hatinya juga akan merasa sedih dan susah. Maka untuk meringankan beban saudara yang sakit hatinya tergerak untuk meringankannya, menjenguknya, membesarkan hatinya, menghiburnya, supaya sabar dalam menghadapi musibah dari Allah SWT, dzat yang memberikan cobaan kepadanya.

Bisa jadi saudara yang sedang sakit diberi cobaan ada kekuarangan dalam sisi fisik, bagi yang menjenguk juga dapat mendapatkan pelajaran bahwa ujian atau cobaan dari Allah wujudnya dalam kehidupan berbagai jenis bentuknya sesuai dengan kemampuan seorang hamba, penerima cobaan. Bisa jadi ada yang kekuarangan fisik, ada yang kekurangan ekonomi, ada yang kekurangan pergaulan, sawahnya tidak panen dan lain sebagainya.

Maka ketika seseorang menjenguk saudaranya sebenarnya dia tidak hanya memberikan nasehat, tetapi dia juga diperintahkan untuk menasehati dirinya sendiri, bahwa hamba Allah ini semua dalam ujian dan cobaan Allah. Maka tatkala menjenguk itu saudara yang sakit mendapatkan masukan nasehat, bagi yang menjenguk juga mendapatkan nasehat bagi dirinya sendiri.

Realisasi rasa cinta kepada sesama lagi adalah ketika saudara sesama muslim meninggal (mati), dia menshalatinya (wa shalli mawta). Dawuh Nabi SAW menjelaskan, “Shalat itu wajib kamu lakukan, juga kepada setiap muslim yang mati baik dia orang baik atau seorang pelaku dosa besar”.

Hal ini juga sebagai wujud kecintaan kita kepada sesama muslim yang selalu menabur keselamatan, kedamaian tidak hanya dia dalam keadaan masih hidup, tetapi dalam keadaan dia meninggal dunia sekalipun juga berharap kebaikan, keselamatan, kedamaian untuk dia. Dalam keadaan sehat, hidup selalu ditebar kedamaian, dalam keadaan sakit juga ditebar kebaikan dan kedamaian, sampai dia mati sekalipun sesama orang beriman juga mengekpresikan rasa cintanya untuk sesama.

Dapat dipahami dalam do’a kepada si mayit, ”Allahumaghfir lahu warhamhu wa afihi wa’fu anhu.” Ya Allah berilah ampunan untuk dia, kasihani, sayangi dia, dan berilah keselamatan untuknya. Selalu ajaran Islam mengharapkan kedamaian dan keselamatan untuk muslim dengan dasar kecintaan kepada sesama, berdasarkan ikatan keimanan yang sama.

Dalam konteks tradisi idulfitri di Indonesia, keindahan iman dan cinta itu dapat diperluas lagi dalam berbagai bentuk kebiasaan yang bisa disaksikan beberapa minggu kemarin oleh umat muslim Nusantara yang sedang merayakan hari raya idulfitri. Di antaranya adalah ucapan selamat dan doa untuk saudara, teman, kenalan yang merayakan hari raya, disertai dengan permintaan maaf.

Kebiasaan ini dilakukan dengan sekedar mengirimkan ucapan lewat media sosial, mengirim parsel, atau tradisi saling mengunjungi antara saudara satu dengan saudara yang lain. Tradisi hari raya saling memaafkan dengan saling mengunjungi ini sebagai wujud adanya ikatan batin berupa iman dan cinta, lepas dari sekat-sekat status sosial yang dimiliki.

Akhirnya bisa kita lihat ada kebiasaan tradisi mudik. Memang merayakan hari raya kalau tidak mudik untuk bisa ketemu secara fisik, nampaknya ada yang kurang sempurna. Walaupun kebiasaan mudik ini dilihat dari sisi biayanya mungkin tidak dapat dikalkulasikan. Bisa jadi bekerja satu tahun dikumpulkan untuk menjalani tradisi hari raya ini. Hal ini hanya dapat di dorong oleh keimanan dan cinta antar sesama.

Praktik lain perayaan idulfitri sebagai wujud keimanan dan cinta dalam masyarakat muslim Nusantara adalah memberikan suguhan kue bagi saudara yang berkunjung ke rumah. Kue yang disuguhkan itupun bermacam-macam sesuai dengan tradisi masyarakat setempat, misalnya krupuk, jenang, gambir, roti, rengginang, dodol, olen-olen, buah-buahan, pisang godok, jelli yang dirangkai dengan berbagai macam minuman juga.

Wadah kuenya pun beragam, ada yang namanya rodong, gelas, nampan, dan sebagainya. Nampaknya masyarakat kita mengamalkan dawuh Kanjeng Nabi SAW, “Tahaadu Tahaabbu”, saling memberilah maka kamu akan tumbuh rasa cinta. Tradisi menyediakan kue ini dapat dimaknai sebagai kegembiraan seorang karena menyambut kedatangan saudaranya.

Maka dalam kelas sosial apapun biasanya masyarakat muslim Nusantara selalu akan menyediakan kue suguhan bagi saudara-saudaranya. Kebiasaan memberi untuk saudara memang tidak mesti didasarkan oleh ikatan keimanan, tetapi mungkin lebih karena ikatan kecintaan kepada saudaranya.

Ini dibuktikan saat ada hajatan dalam berbagai event di masyarakat kita selalu ada tradisi kunjungan dan pemberian untuk saudaranya yang dicintai. Misalnya saat saudaranya menyelenggarakan pernikahan, khitanan, pindahan rumah, selalu sesama saudara akan mengunjunginya, memberikan barang atau uang semampunya sebagai bentuk kecintaannya.

Untuk itu bersyukurlah menjadi masyarakat muslim Nusantara yang mempunyai tradisi mulia, yakni hari raya idulfitri, berbalut keimanan dan kecintaan antar sesama, dapat diaktualisasikan secara indah di tengah-tengah kehidupan kita, apalagi idulfitri tidak hanya menjadi sebuah ajaran agama Islam, tetapi sudah menjadi tradisi (kebiasaan) yang difasilitasi oleh pemerintah.

Sehingga pelaksanaan hari raya yang dilakukan oleh mayoritas warga Indonesia ini menjadi lancar, terayomi, tertib dan indah, sesuai dengan dalilnya negara Indonesia adalah negara yang makmur dalam pengampunan Allah SWT, “baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur”.

Penulis: Dr. K. H. Asmawi, M.Ag., Dosen UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

Skip to content