Penulis: Prof. Dr. KH. Asmawi, M.Ag., Pengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Kurban merupakan ajaran tauhid yang diperintahkan kepada umat Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk syukur atas limpahan nikmat dari Allah Swt. Dalam lintasan sejarah, praktik ini berakar pada syariat Nabi Ibrahim AS. Umat Islam memahami prinsip syar’un man qablana syar’un lana—ajaran umat terdahulu menjadi bagian dari syariat umat Muhammad SAW. Hal ini juga mencakup ibadah haji, pernikahan, tata kebersihan, walimah, muamalah ekonomi, serta transaksi jual beli.
Syariat-syariat yang terus dijalankan secara berkesinambungan itu menjadi fondasi terbentuknya peradaban umat manusia dari zaman Nabi Adam hingga saat ini. Historisitas syariat ini oleh Syah Waliyullah dijelaskan melalui konsep ad-dīn wāḥid wa syarā’i‘uhu mukhtalifah, bahwa agama pada dasarnya satu, meskipun bentuk syariatnya berbeda-beda.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Kautsar dijelaskan:
“Sesungguhnya Kami telah memberimu nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah)” (QS. Al-Kautsar: 1–3).
Ayat ini menunjukkan bahwa kurban merupakan perintah yang hadir sebagai respons atas limpahan nikmat Allah kepada Nabi Muhammad SAW . Istilah al-kautsar yang berarti “kebaikan yang banyak” mencakup karunia kenabian, syafaat, mukjizat Al-Qur’an, banyaknya umat beliau, dan kemudahan syariat (al-Shawi al-Maliki).
Menurut Syekh Nawawi Banten dalam Marāqī al-‘Ubūdiyyah, keutamaan Nabi Muhammad SAW antara lain: tidak pernah bermimpi basah, tidak pernah menguap, dan tidak dihinggapi lalat. Semua ini menunjukkan derajat kemuliaan yang sangat tinggi, yang menuntut rasa syukur dari beliau, salah satunya dengan mendirikan shalat dan melaksanakan kurban.
Maka dalam ayat kedua itu Nabi Muhammad SAW diperintah untuk shalat dan berkurban sebagai realisasi syukur atas nikmat yang banyak yang telah diberikan oleh Allah SWT. Shalat sebagai ibadah formal bagi umat Muhammad SAW yang diperintahkan kepada Nabi dan umatnya sejak mi’raj menghadap Allah, juga shalat–shalat sunnahnya. Dikerjakan secara mudawamah, sesuai dengan apa yang telah disyariatkan, tidak dikurangi atau ditambahi. Dengan shalat itulah seorang hamba bermunajat kepada Tuhannya, melantunkan syahadat, dan doa-doanya.
Shalat merupakan ibadah formal yang wajib bagi umat Muhammad SAW, yang ditetapkan melalui peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Dalam perspektif studi agama, shalat dapat dikategorikan sebagai religion—ajaran tetap yang tidak berubah dan tidak memerlukan tafsir baru. Ia merupakan bentuk dakwah yang paling asasi, yakni komunikasi langsung seorang hamba dengan Tuhannya.
Dalam konteks perguruan tinggi, dakwah diwujudkan melalui pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi oleh seluruh sivitas akademika. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung memosisikan diri sebagai kampus “Dakwah”. Pengabdian kepada masyarakat, pendidikan, dan penelitian adalah pengejawantahan misi kenabian yang harus dijalankan secara istiqamah—sebagaimana umat Muhammad tidak boleh meninggalkan shalat.
Perintah kedua dalam surat Al-Kautsar adalah wanḥar—berkurban. Disebutnya kurban dalam satu rangkaian dengan shalat menunjukkan nilai ibadah yang sebanding. Jika shalat adalah simbol hubungan vertikal dengan Allah, maka kurban adalah bentuk ibadah sosial yang dinamis. Dalam studi agama, kurban bisa dikategorikan sebagai religiosity—yakni wujud pengamalan ajaran agama yang kontekstual.
Pelaksanaan kurban dapat berbeda bentuknya—di Arab berupa unta dan domba, di Nusantara berupa sapi dan kambing—tetapi semangatnya tetap sama: berbagi, mendekatkan diri kepada Allah, dan menumbuhkan empati. Kurban juga berkontribusi pada penguatan ekonomi umat, keadilan sosial, dan pemberdayaan masyarakat.
Hal yang sama juga dapat ditemukan di lingkungan UIN Sayyid Ali Rahmatullah. Melalui pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi, kampus ini berkontribusi terhadap lahirnya peradaban dalam berbagai bidang: keilmuan, sosial, budaya, ekonomi, dan spiritualitas santri. Peradaban ini tampak baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Karena itulah, selain sebagai “Kampus Dakwah”, UIN SATU Tulungagung juga mengusung motto “Kampus Peradaban”.
Ayat penutup surat Al-Kautsar menyatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang membencimu adalah orang-orang yang terputus (dari rahmat Allah).” Ayat ini diturunkan untuk membela Nabi SAW dari ejekan orang-orang musyrik yang mencemooh karena wafatnya putra beliau. Allah menegaskan bahwa para pembenci itulah yang sejatinya hina dan jauh dari rahmat-Nya.
Pesan ini relevan bagi sivitas akademika UIN SATU: tetap bangga dan optimis dalam menjalankan misi dakwah dan peradaban. Ujian, cemoohan, atau penolakan adalah bagian dari dinamika perjuangan. Maka, semangat juang harus tetap menyala, disertai kerja keras dan ikhtiar ilmiah.
Jika di masa Nabi SAW tantangannya adalah ideologi keimanan dan struktur nasab, maka di era modern, tantangannya meluas: kecerdasan buatan (AI), robotika, liberalisasi ideologi, krisis iklim, hingga dinamika global ekonomi-politik. Semua tantangan ini harus dijawab dengan penguatan misi dakwah dan kontribusi nyata terhadap peradaban.
Dengan landasan teologis yang kuat dari surat Al-Kautsar—Fa shalli li rabbika wanḥar—maka Kampus Dakwah dan Peradaban bukan sekadar slogan, melainkan cita-cita luhur yang harus terus dihidupkan.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.