Dinamika Pengajaran Fiqih di PTAI

Kontributor:

Mungkin sudah menjadi taqdir penulis, sejak mulai mengajar di perguruan Tinggi pada tahun 1999, materi yang diamanahkan selalu disiplin ilmu dalam rumpun hukum Islam. Mulai Fiqih, Filsafat Hukum Islam, Usul fiqih, Kaidah fiqh (fiqih legal maxim), Fiqih ekonomi Kontemporer, Tafsir Ahkam. Sejak mulai melakukan kegiatan tranformasi ilmu hukum Islam, penulis mendapatkan pengalaman-pengalaman empiris berhubungan dengan studi fiqih (hukum Islam), baik menyangkut dengan materi perkuliahan, metode pengajaran, perilaku dan kondisi mahasiswa, perangkat pengajaran, lingkungan tempat belajar (civitas akademika), baik di perguruan tinggi agama Islam(PTAI) negeri atau swasta, regulasi yang diterapkan untuk para dosen atau mahasiswa. Semua dimensi itu dinamis seiring dengan suasana empiris penulis, ketika melakukan pengajaran.

                Di mulai dengan materi fiqih yang disampaikan kepada mahasiswa, biasanya mendapatkan tempat yang penting dalam khazanah perguruan tinggi Islam di Indonesia.

Hampir semua jurusan atau program studi selalu menempatkan fiqih sebagai materi yang wajib diambil oleh semua peserta perkuliahan. Hal ini didasari oleh kebutuhan mahasiswa akan ilmu hukum Islam secara elementary (mendasar), guna mempraktikkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai insan yang Bergama Islam. Hanya saja muatan atau bobot dari fiqih biasanya hanya  dua (sistem kredit semester) SKS dalam seminggu. Dengan begitu, waktu yang diberikan untuk kajian fiqih-fiqih dasar sangat terbatas. Padahal materi dasar fiqih, yang biasanya disampaikan fiqih ibadah, mulai dari thoharoh, shalat, zakat, haji. Materi fiqih ibadah ini, berhubungan dengan problematika yang dihadapi oleh masyarakat modern, tidak sesederhana yang diramu oleh kurikulum fiqih.

Jika melihat kepada lembaga-lembaga kajian hokum Islam yang menyelesaikan problematika hokum yang ada di masyarakat, misalnya bahtsu masail Nahdlatul Ulama(NU), akan ditemukan banyak problematika fiqih ibadah yang dialami oleh masyarakat Muslim Indonesia, misalnya tentanhg niat, sholat musafir, zakat profesi,  kemampuan haji, puasa sopir, dan sebrek problematika lainnyaa. Maka dikaitkan dengan materi perkuliahan fiqih ibadah di kampus-kampus, pasti juga mengalami dinamika yang sama. Untuk itu diperlukan terobosan-terobosan yang brilian dalam kajian fiqih di perguruan tinggi kita, supaya materi-materi yang disampaikan menemukan sasaran, tidak membosankan. Atau dalam bahasa lain materi fiqih di Perguruan Tinggi harus dinamis sesuai dengan karakteristik ilmu itu sendiri. 

                Tentang metode pembelajaran hukum Islam di perguruan tinggi agama, juga mengalami masalah atau problem yang sama. Para pengajar (dosen) seharusnya membekali dirinya dengan sekian cara untuk menyampaikan materi kajiannya. Bisa dengan ceramah, dialog, diskusi, penugasan, atau metode- metode yang lain sehingga dapat menggerakkan para mahasiswa untuk menangkap ilmu yang disampaikan, mempraktikkannya, atau bahkan menjadikan seorang peserta didik identik dengan ilmu yang di sampaikan. Tentunya pekerjaan ini tidak mudah, membutuhkan upaya-upaya yang kontinyu, sistematis, dan keteladanan dari dosen itu sendiri. Keteladanan menurut penulis sebagai metode atau cara yang begitu penting dalam studi ilmu-ilmu keIslaman, mengingat ilmu ini tidak sekedar menyangkut keyakinan (iman), praktek (islam), tetapi juga akhlaq (ihsan). Maka menyampaikan ilmu agama tanpa memperhitungkan ketiga hal pokok dalam syariat itu, merupakan omong kosong. Hasilnya nanti mahasiswa dapat menjadi orang yang menguasai ilmu tapi tidak mempunyai kepribadian sebagaimana ilmu yang dikuasai. Nampaknya inilah ketertinggalan kita dengan lembaga pesantren, yang lebih menekankan aspek keteladanan dari para kyai atau ustadh-ustadhnya. Sehingga yang terjadi di masyarakat, eksistensi alumni pesantren dengan alumni perguruan tinggi agama Islam, lebid mengakar alumni pesantren. Inilah yang menjadi catatan kita, para akademisi di kampus, supaya lebih memperhatikan juga metode keteladanan (uswah hasanah), sebagai salah satu cara untuk menyampaikan ilmu kepada para mahasiswa.

                Dinamika lain dalam studi hukum Islam di perguruan tinggi Agama Islam adalah kondisi mahasiswa yang beragama (heterogen). Idealnya input mahasiswa yang masuk di PTAI adalah mereka-mereka yang sudah pernah belajar ilmu-ilmu dasar agama Islam. Seperti baca Tulis al-Qur’an- Hadits, ilmu tauhid, ilmu akhlaq, sedikit ulum Hadits dan ulumul Qur’an, fiqih dasar. Mahasiswa yang masuk di perguruan Tinggi Agama tinggal melanjutkan kurikulum yang ada di jenjang lembaga pendidikan sebelumnya. Dengan begitu pola kajian di perguruan tinggi tidak lagi mengulangi atau memahami materi kuliahnya, melainkan kajian-kajian yang sifatnya mendalami, atau mengkritisi ilmu yang ditekuni. Tetapi kalau pola kajiannya mendalami atau mengkritisi sebuah ilmu atau teori sedangkan mahasiswanya baru mengenal ilmu (mata kuliah) yang ditawarkan, ini akan mengakibatkan sesuatu yang kurang baik bagi mahasiswa itu sendiri. Mereka akan bingung dengan apa yang diterima, kalau yang diterima berhubungan dengan aliran-aliran dalam hukum Islam (madhhab), atau aliran tauhid (ilmu kalam), mungkin saja bertentangan dengan praktek keberagamaan yang selama ini dia yakini, akan menimbulkan pendangkalan pengamalan agama kalau tidak mau disebut pendangkalan akidah. Untuk itu standar mahasiswa yang bisa diterima di perguruan Tinggi Agama juga harus diverifikasi (dipilah dan dipilih).

 Hal ini juga tidak mudah bagi pengelola perguruan Tinggi agama Islam (PTAI), apalagi perguruan tinggi Swasta (PTS), dengan suasana kompetitif antar perguruan Tinggi. Mereka para pengelola penguruan tinggi dituntut oleh regulasi (aturan) yang berlaku, untuk memenuhi standar kuantitas jumlah mahasiswa yang dari tahun ke tahun harus meningkat, bertambah. Dengan begitu mencerminkan sebagai perguruan tinggi yang marketable, layak jual, dinamis, hidup, dan dapat membiayai  opersional perguruan Tinggi yang mahal. Seyogyanya sebuah perguruan Tinggi dengan tingkat kompetisi yang semakin meningkat, juga dapat mengupayakan idealisme akademiknya untuk mencetak para sarjana-sarjana (ilmuwan) yang mempunyai kompetensi ilmu dan kepribadian secara bersamaan.

Problematika pengajaran Hukum Islam di atas, bertambah dengan perangkat pembelajaran yang sampai sekarang belum sempurna atau bahkan terbatas. Ini mungkin oleh para pelaku kajian hokum Islam akan dijawab, “belajarlah kepada para ulama-ulama masa klasik, di mana kitab-kitab fiqih (hukum Islam) ditulis pada masa mereka. Pada saat itu suasana pembelajaran juga sangat terbatas, monoton, ala kadarnya, tetapi menghasilkan karya-karya genuine, berupaka ilmu-ilmu yang sampai sekarang tetap menjadi referensi utama bagi pengkaji-pengkaji sesudahnya”. Jawabanya adalah, bisakah para dosen-dosen zaman sekarang menjadi ulama-ulama terdahulu? dengan segala keterbatasan, tetapi menampilkan seorang profil ideal seorang guru. Mulai dari performance penampilannya, sifat-sifat akhlaqul karimahnya, sikap menerima apa adanya(qana’ah)nya, keikhlasannya (penghasilan yang tidak pasti), istiqamahnya dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt, tiap malam selalu muqarrabah dan mujahadah mendoakan para muridnya, selalu jauh dari kemaksiatan, waktu muthalaahnya yang mengalahkan waktu bersenang-senangnya, dan lain sebagainya. Mungkin kalau para dosen dapat menampilkan dirinya sebagaimana para pendahulu dalam kajian hukum Islam, niscaya kajian fiqih menemukan keemasannya kembali.   

Demikian juga yang harus menjadi perhatian para pengkaji hukum Islam adalah lingkungan tempat di mana perguruan Tinggi berada. Lembaga pendidikan bukanlah entitas yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari kehidupan social yang melingkupinya. Di sekitar kampus terdapat agama yang beragam, organisasi yang banyak, partai politik yang menjamur, organisasi masyarakat yang dinamis, dan komunitas lain yang mungkin tidak dapat disebut satu persatu. Dalam hal Kajian hukum Islam, civitas akademika juga harus sinergis dengan masyarakatnya. Misalnya ada lembaga bantuan Hukum, lembaga ijtihad organisasi keagamaan, pengadilan agama, kementrian Agama, tokoh-tokoh masyarakat dan lain sebagainya. Dengan upaya sinergis kajian hukum Islam akan mampu menjawab problematika hukum Islam yang ada dalam masyarakat Muslim. Hukum islam akan dapat membumi ditengah-tengah masyarakat muslim yang semakin hari membutuhkan jawaban teologis dari fiqih. Maka secara akademis atau praktis hukum Islam bersinergis dengan masyarakat adalah sebuah keniscayaan.

Sesuatu yang tidak dapat diabaikan lagi adalah regulasi (aturan) yang menaungi perjalanan kajian hukum Islam. Aturan ini bias menyangkut para dosen, mahasiswa, lembaga perguruan Tinggi (jurusan) sebagai pelaksananya. Para Dosen zaman sekarang disibukkan dengan kegiatan administrasi pelaporan (laporan Beban Kerja Dosen) sebagai pertangungjawaban tunjangan sertifikasi dosen yang diterimanya tiap bulan. Implikasinya mungkin intensitas dan kualitas pelaksanaan tugas fungsionalnya juga mengalami penurunan. Mereka sibuk dengan urusan surat tugas, pemenuhan absen kuliah, absensi dosen dan karyawan disbanding dengan aktivitas nulis dan penelitian. Belum lagi kalau para dosen ini disibukkan dengan administrasi kepangkatan. Seiring dengan kegitan dosen yang adminstratif berimplikasi negativ kepada mahasiswa. Mahasiswa merasa dosen yang mengajar monoton, kering dengan muatan ilmu, lebih banyak kepada rutinitas kewajiban, bukan mentransfer ilmu sesuai dengan seperangkat metode dan materinya.

Itulah catatan penulis tentang kajian fiqih (hukum Islam) di perguruan Tinggi di Indonesia, yang mungkin juga terjadi dalam materi-materi kajian yang lain. Kalau disimpulkan terdapat beberapa tantangan yang harus disikapi oleh akademisi kita dengan bijaksana. Di antaranya, pertama, Materi kajian hukum Islam harus dinamis seiring dengan pergerakan atau perubahan yang ada dalam masyarakat, sehingga sebuah ilmu dapat relevan dimanapun dan kapanpun berada. kedua, Metode keteladanan (uswah hasanah) sebagai cara untuk menyampaikan ilmu dan teori. Ketiga, input mahasiswa juga mencerminkan kualifikasi akademik yang dibutuhkan, keempat, keterbatasan perangkat pembelajaran dapat disikapi dengan belajar dari sikap ulama masa lalu yang menampilkan dirinya sebagai guru-guru ideal, kelima, lembaga perguruan Tinggi Agama islam harus sinergis dengan masyarakat yang melingkupinya, keenam, problematika regulasi aturan yang belum mencapai kata mufakat, dapat dicarikan jalan keluar secara arif dan bijaksana, sehingga antara regulator dan pelaksana tidak mengalami kesenjangan, yang berimplikasi negative kepada stake holder yang kurang percaya terhadap alumni perguruan Tinggi Agama Islam(PTAI). Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.

Skip to content