Wisuda IAIN Tulungagung: Momentum untuk Mengobati Kegersangan Akademik

Kontributor:

Hari sabtu tanggal 6 september 2014 Institut agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, melaksanakan wisuda untuk yang perdana sejak alih status dari Sekolah Tinggi menjadi Institut. Berfsamaan dengan kegiatan wisuda, civitas akademika juga memulai kegiatan tahun ajaran baru di perguruan tinggi tercinta ini. Atau mungkin juga bersamaan dengan kegiatan tahun ajaran baru di Perguruan Tinggi seluruh Indonesia. Sebagai bagian dari akademisi di IAIN Tulungagung, saya mengucapkan selamat kepada seluruh civitas akademika baik dari Rektorat, Dekanat atau jurusan dan mahasiswa yang telah sukses untuk mencetak kader-kader ilmuwan masa depan.

Di sisi lain, sebagai bahan renungan dan catatan pengalaman dari penulis, yang kebetulan adalah civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum (FASIH) IAIN Tulungagung,  masih menyisakan krisis akademik terkait dengan muatan-muatan ilmu yang di tawarkan kepada para mahasiswa Fasih.

untuk itu beberapa waktu lalu dilakukan upaya untuk menyusun dan meninjau Kurikulum di Jurusan yang ada di Fasih. Penyusunan Kurikulum dilakukan oleh Jurusan baru Zakat dan Wakaf (ZAWA), sementara di peninjauan kurikulum dilakukan oleh Jurusan Hukum keluarga dan Hukum Ekonomi Syari’ah. Dalam Pelaksanaan kegiatan penyusunan dan peninjauan Kurikulum Ini banyak ditemui beberapa problematika terkait dengan Kurikulum yang akan ditawarkan kepada mahasiswa di Fasih. Problematika yang sedang berkembang biasannya menyangkut dengan relevansi mata kuliah yang sudah tidak sesuai dengan pasar stake holder yang nanti menerima dan memanfaatkan tenaga mereka. Mata kuliah-matakuliah yang diajarkan dianggap sudah memerlukan reaktualisasi lagi suapaya tetap relevan dengan kondisi pasar yang sedang berkembang.

            Taruhlah misalnya mata kuliah fiqih yang selama ini menjadi ikon di Fakultas Syari’ah Perguruan Tinggi Agama Islam  seluruh Indonesia. Seandainya mata kuliah fiqih diajarkan tetap menggunakan metode dan materi  seperti tahun 80-an atau 90-an tentu saja akan mengalami irrelevansi  dengan realitas masyarakat Muslim sebagai konsumennya. Contoh tentang  fiqih ibadah dalam masalah Haji, sistem bermadhhab, fiqih thoharoh, fiqih muamalah tentang transaksi jual beli, fiqih jinayah atau pidana Islam, fiqih siyasah (Ilmu Politik Islam), fiqih murafaah tentang hukum acara di peradilan Agama. Semuanya itu perlu pembaruan dari sisi metode pengajaran dan materi  belajarnya. Agar memenuhi rasa kebutuhan masyarakat Muslim di Indonesia dalam bidang hukum Islam atau fiqih.

            Selain itu dinamika masyarakat Muslim sekarang begitu pesatnya seiring dengan  perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dulu pola kehidupan masyarakat sederhana dan apa adanya sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia. Tetapi sekarang masyarakat Muslim pola hidup, budaya dan cara pandangnya terhadap ajaran-ajaran Agama juga bisa dikatakan berubah. Untuk itu perubahan budaya, pola hidup dan cara pandang masyarakat ini menuntut adanya perubahan pula dalam bidang hukum Islam. Seperti cara pandang orang dulu tentang katagori “santri”. Santri menurut cara pandang sederhana adalah orang yang rajin ke masjid, langgar, musholla, jam’iyahan dan lain-lain. Tetapi sekarang cara pandang tentang santri seperti itu perlu di revisi menurut orang sekarang. Bisa jadi katagorisasi dan peristilahan  Santrinya sudah berbeda atau berubah. Karena kalau menyebut santri saja dengan ukuran orang yang rajin ke langgar atau masjid untuk ukuran zaman sekarang tentu tidak cukup karena banyak sekali orang yang rajin ke masjid atau langgar belum tentu mencerminkan identitas seorang santri.    

            Demikian juga cara atau metode mengajar para dosen sekarang juga harus mencerminkan antara sikap atau perilaku dengan keahlian yang dimiliki. Seorang dosen yang  memiliki keahlian bahasa arab dia juga harus mencerminkan sikap dan perilaku bahwa dia adalah ahli dalm bidang kearaban. Orang yang ahli dalam bidang tasawuf juga harus mencerminkan  perilaku seorang sufi, seorang yang mengajar tarbiyah juga harus mencerminkan sebagai profil  guru ideal, seorang yang mengajar hukum islam memang perilakunya mencerminkan seorang hakim yang dapat memberikan keadilan di tengah-tengah masyarakatnya. Dan masih banyak lagi cerminan seorang ilmuwan yang mengaplikasikan ilmunya dalam dunia nyata, sehingga  mereka perilaku para ilmuwan menyatu dengan ilmunya. Inilah yang kemudian oleh Dawam Raharjo disebut dengan cendekiawan.

            Maka yang penting dilakukan oleh para pengelola perguruan tinggi adalah mengembalikan roh kajian akademiknya. Artinya Kajian di perguruan tinggi minimal harus  mengakomodasi tiga dimensi keilmuannya. Pertama dimensi ontology –teoritisnya yang kedua adalah dimensi epistemologis, dan yang ketiga adalah dimensi aksiologis praksisnya. Dimensi teoritis dilakukan sebagai bahan pengayaan terhadap teori-teori  yang telah disepakati oleh para peneliti atau ilmuwan yang sedang berkembang. Upaya ini merupakan kegiatan pakem bagi semua ilmuwan atau akademisi yang mempunyai  kewajiban untuk transfer ilmu kepada sesama. Dimensi epistemologisnya juga dilakukan dalam rangka untuk menjembatani antara sisi teoritis dan realitas masyarakat. Dengan aspek epistemologis karakteristis sebuah ilmu dapat dicapai, karena akan selalu dilakukan research (penelitian) untuk mencari jawaban dari kesenjangan antara teori dan praktek. Sedangkan dimensi aksiologis merupakan  implikasi dari kedua dimensi di atas, yaitu letak dari nilai kemanfaatan dan nilai fungsi dari teori atau ilmu yang dihasilkan. Dengan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sebuah ilmu akan mempunyai nilai kemanfaatannya bagi manusia pada umumnya.

            Untuk itu siklus akademik dengan tiga dimensi itu sebuah kenbiscayaan bagi dunia perguruan tinggi. Tidak tercapainya salah satu dari tiga dimensi berakibat pada kegersangan akademik. Inilah yang kemudian terjadi di perguruan tinggi kita sekarang ini. Akhirnya kadangkala banyak sarjana atau ilmuwan di dunia akademik tetapi miskin yang dapat menjawab problematika masyarakat kita. Mulai dari problematika etika, politik, ekonomi, sosial, budaya dan seabrek problematika masih terus terakumulasi di tengah-tengah masyarakat menunggu jawaban dari insan akademis. Contoh yang paling kentara adalah perguruan tinggi kita tiap semester atau tahun selalu mencetak ilmuwan atau sarjana. Tetapi seiring dengan itu juga menghasilkan para sarjana yang non Job dari keahliannya. Karena memang lapangan kerja kita tidak memenuhi  quota dari jumlah kebutuhan yang tersedia. Atau sebaliknya sarjana kita tidak dapat memenuhi tuntutan kebutuhan pasar yang ada pada masyarakat.

             Untuk itu momentum wisuda dan peninjauan kurikulum atau penyusunan kurikulum yang dilakukan oleh fakultas syariah dan ilmu hukum semoga dapat meminimalisir kegersangan kademik yang terjadi di perguruan tinggi kita, khususnya atau masyarakat akademik muslim Indonesia pada umumnya. Selamat dan Sukses. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab

Skip to content