Labirin Islamisasi Ilmu Pengetahuan [2]

Kontributor:

Islamisasi ilmu pengetahuan telah menjadi proyek yang ambisius. Bukan semata-mata karena alasan gengsi, tetapi juga keterjajahan epistemologi.

Marilah kita sedikit berkontemplasi. Terminologi “Islamisasi ilmu pengetahuan” saja, menurut saya, adalah terminologi bermasalah. Pada masa klasik, tidak pernah muncul kodifikasi keilmuan dengan label agama. Para filosof muslim klasik tidak pernah terjangkiti sindrom seperti itu.

Proyek untuk membawa filsafat Yunani ke dunia Islam pada masa al-Kindi misalnya, tidak lantas membuat kalangan filosof Muslim melabeli filsafat dengan nama “filsafat Islam”. Cukup filsafat saja. Demikian juga yang berlaku di kalangan para ilmuwan muslim.

Problem label Islam pada ilmu, menurut saya baru terjadi pada periode modern. Pemikir-pemikir Muslim seperti Naquib al-Attas, Seyyed Hossein Nasr, Ismail al-Faruqi, Ziauddin Sardar, Abdus Salam, amal Mimouni, S. Waqar A. Husaini, Abu Sulayman, Taha J. al-Alwani, S. Parvez Manzoor, Munawar A. Anees hanya menyuarakan tata pola pemikiran dikhotomis yang sudah tersusun rapi. Sesungguhnya Orientalisme-lah yang menginjeksikan tata pikir dikotomis itu dalam pikiran umat Islam.

Hegemoni yang berlangsung ratusan tahun ini kemudian tampak alamiah. Umat Islam, tidak terkecuali kalangan intelektualnya, dikondisikan tidak bisa berpikir, kecuali dengan tata pikir dikotomi.

Proyek Islamisasi sains sesungguhnya setali tiga uang. Sadar ataupun tidak, proyek ini sejatinya  merepresentasikan bagaimana hegemoni orientalisme masih mengakar kuat dalam struktur pikiran masyarakat intelektual muslim.

Tata pikir dikotomi memang canggih dalam menciptakan kesan, seakan-akan ilmu dimiliki oleh kebudayaan tertentu. Ilmu modern diidentikan dengan Barat. Lalu, di luar kategori Barat orang dipaksa membuat label lain. Seluruh kesadaran umat Islam dipaksa menjadi liyan dalam zona ilmu modern.

Demikianlah, orientalisme begitu canggih melokalkan yang universal. Begitupun, sebaliknya. Ilmu itu universal, dan dilokalkan menjadi seakan-akan milik Barat. Proyek Islamisasi sains melayani tata pikir semacam ini. Menurut saya, proyek ini tetap akan dalam labirin bila merayakan tata pikir dikotomi itu.

Jalan keluarnya menjadi jelas, kita harus kembali merayakan universalitas ilmu. Semua orang harus menjadi bagian dari masyarakat ilmu yang universal, dan bermental kosmopolitan. Itulah jalan keluar.

Spirit seperti inilah yang sedang dicoba untuk diretas di IAIN Tulungagung. Atas nama universalitas ilmu dan kosmopolitanisme, kami bangga mendeklarasikan diri sebagai kampus “Dakwah dan Peradaban”.

Skip to content