Bedah Buku What is Religious Authority: Membuka Tabir Terbentuknya Otoritas Keagamaan

Tulungagung—UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung menggelar kegiatan yang menarik yaitu Bedah Buku “What Is Religious Authority?: Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah” pada Selasa (27/2/2024) yang bertempat di Aula Gedung Rektorat Lantai 3. Narasumber dalam kegiatan ini adalah Prof. Ismail Fajrie Alatas, Ph.D dan juga Prof. Masdar Hilmy, Ph.D.

Acara bedah buku diawali dengan sambutan dari Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Prof. Dr. Abdul Aziz, M.Pd.I. Ucapan selamat datang disampaikan kepada para narasumber yang luar biasa.

Rektor menyampaikan bahwa buku yang ditulis oleh Prof. Ismail Fajrie Alatas dengan Bahasa Inggris ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

“Sekarang, buku What Is Religious Authority?: Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah dengan Bahasa Indonesia pertama kali dibedah dan tempatnya adalah di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Jadi kita patut bangga dengan hal ini. Jika tidak bisa menjadi yang terbaik, maka jadilah yang pertama,” ujarnya.

Buku ini mengangkat wawasan unik untuk memberikan pemahaman baru tentang otoritas keagamaan, terutama dalam persepsi keislaman. Buku ini juga dianggap sangat penting untuk kajian Islam di Indonesia.

Dari buku ini juga kita bisa melihat bagaimana perjalanan Islam yang dibawa dari Hadramaut hingga sampai di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Tokoh-tokoh pembawa ajaran Islam dari Hadramaut ini seringkali disebut dengan habib yang saat ini sudah banyak dikenal di kalangan masyarakat Indonesia sehingga memunculkan kontestasi dalam hal otoritas keagamaan.

Prof. Ismail Fajrie Alatas selaku penulis buku “What Is Religious Authority?” saat ini juga menjabat sebagai Associate Professor dalam Studi Islam, Timur Tengah, dan Sejarah di New York University. Beliau telah memiliki banyak karya tulis berupa artikel ilmiah yang telah dipublikasikan di berbagai jurnal internasional dan juga beberapa buku yang telah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia.

Tak kalah menariknya, Prof. Dr. Masdar Hilmy selaku pebanding dalam kegiatan bedah buku ini juga memiliki banyak karya tulis yang berupa artikel ilmiah maupun buku. Beliau saat ini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya setelah jabatannya menjadi Rektor UIN Sunan Ampel pada periode 2018-2022 usai.

Pada sesi penyampaian materi, Prof. Ismail Fajri Alatas menyampaikan bahwa untuk mencapai suatu otoritas kita harus mampu menyambungkan antara masa lalu dengan masa depan sebagai pondasinya. Jika dalam hal keislaman, maka masa lalu yang dimaksudkan adalah masa lalu kenabian. Beliau juga menyampaikan bahwa untuk mencapai otoritas dalam beragama tidak cukup jika hanya mengandalkan kemampuan intelektual, tetapi juga harus disertai dengan kerja artikulasi untuk membangun dan memimpin jamaah.

“Untuk mencapai otoritatif dalam Islam, harus mampu membangun jalinan dengan masa lalu kenabian melalui berbagai macam cara yang nantinya juga menciptakan otoritas yang berbeda-beda. Ada yang meng-claim jalinannya dengan masa lalu kenabian melalui nasab, ini biasa disebutnya sebagai mursyid. Ada pula yang melalui sanad keilmuan atau yang biasa kita sebut dengan ulama atau habib, dsb. Tetapi, membangun otoritas tidak cukup dengan itu, diperlukan juga modal, energi, dan waktu yang sangat panjang,” ujarnya.

Dalam buku ini juga memiliki subjudul “Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah” maksudnya adalah sunnah dan jamaah merupakan 2 kategori yang dinamis sebagai konsep analitis sehingga kedua hal ini harus bisa saling dikaitkan. Sunnah yang merupakan norma kehidupan, sedangkan jamaah juga turut membentuk kesunnahan itu. Sehingga, kita harus mampu berpikir terbuka mengenai kesunnahan yang sesungguhnya, bukan hanya sekedar sunnah secara teoritis yang selama ini kita pelajari.

“Yang lebih saya tekankan dalam buku ini adalah bagaimana kita dapat mempelajari Islam tanpa membedakan antara agama dan budaya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak bisa dipisahkan. Karena sesungguhnya dalam Islam tidak ada Islam yang universal, tetapi Islam memiliki norma tersendiri dalam lingkungan masyarakat sehingga dari sinilah muncul banyaknya kultur keislaman,” pungkasnya.

Prof. Masdar Hilmy selaku pebanding yang telah membaca buku “What Is Religious Authority?: Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah” menilai buku ini memiliki kualitas yang sangat baik karena menyampaikan beberapa hal penting berkaitan dengan sejarah keislaman dengan pendekatan antropologis dan etnografis. Beliau mengatakan bahwa orang yang berhasil membangun otoritasnya maka ia juga akan diperlakukan secara otoritatif oleh jamaahnya.

“Dari buku ini saya menangkap bahwa poin yang sangat penting adalah penulis ingin memberikan catatan tentang otoritas dengan melakukan rekonstruksi dengan tujuan memberikan gambaran bahwa ada banyak jalan untuk mencapai otoritasnya masing-masing,” ujar Prof. Masdar Hilmy.

Sebelum berakhirnya kegiatan, ada sesi diskusi yang mana salah satu peserta mengungkapkan bahwa kajian mengenai otoritas ini perlu dikembangkan terutama dari sisi manajemen pendidikan dalam institusi dan Prof. Ismail Fajrie Alatas sangat setuju dengan pernyataan tesebut. Beliau mengatakan bahwa dibalik lembaga pendidikan yang otoritatif atau memiliki perkembangan yang stabil, pasti terdapat cara kerja artikulasi seperti regenerasi/reproduksi secara berkelanjutan (continuitas). Hal inilah yang seharusnya perlu dikaji lebih mendalam. Selain itu, beliau juga menjelaskan mengenai konsep dari kesunnahan yang sesungguhnya.

“Banyak komunitas muslim memiliki kesunnahannya sendiri sehingga sesuatu yang dianggap sunnah tersebut terkadang tidak ada dalam hadis atau kitab jika kita cari. Menurut saya, sunnah itu akan selalu bersifar lokal yaitu sesuatu yang benar-benar terealisasi atau diamalkan oleh suatu komunitas,” ujarnya di akhir sesi diskusi.

Skip to content